Anak Agung Ngurah Adhi Ardhana. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Haikal Hassan mengeluarkan pernyataan kontroversi terkait seluruh produk diperjualbelikan di Indonesia wajib bersertifikat halal sebagaimana diatur Undang-Undang (UU). Kebijakan ini pun dikeluhkan karena dinilai kurang memahami bisnis pariwisata.

Wakil Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga BPD PHRI Provinsi Bali, Anak Agung Ngurah Adhi Ardhana, mengeluhkan kebijakan kontroversial ini. Tidak hanya pihak PHRI, namun mungkin seluruh insan pengusaha pasti mengeluhkan tata pelaksanaan dan penyampaian pemerintah melalui pengawas pelaksanaan sertifikasi tersebut yang keras, tegas dan tidak menunjukkan kualitas pemahaman situational bisnis hospitality.

Seharusnya, pemerintah menyelesaikan terlebih dahulu tata laksana yang dapat diterima semua pihak, semua agama termasuk konsumen atau user. Setelah itu, pelaku hospitality baru akan bisa menerima kebijakan tersebut. “Kalau kita lihat ada produk yang dengan tegas menyatakan menggunakan produk kulit babi, tiang (saya,red) kira itu menunjukkan bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap halal non halal, namun mesti dilaksanakan tanpa saling merendahkan kedua tipe produk penjaminan tersebut, halal dan non halal,” kata mantan Ketua Komisi III DPRD Provinsi Bali ini.

Baca juga:  BI Bali Siapkan Rp 4,4 Triliun Pecahan Uang Kecil Baru Selama Lebaran

Adhi menilai pemerintah dalam menerapkan suatu aturan atau Undang-Undang (UU) kurang memahami filosofi (menimbang) penyusunan perundangan atau peraturan tersebut. Filosofi jaminan adalah dimana pemerintah diamanatkan oleh rakyat untuk menjamin produk halal tersebut benar halal. Dari filosofi tersebut ditetapkanlah UU Nomor 33 Tahun 2014 dan selanjutnya disatukan atau disempurnakan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Maka akibat dari penerapan UU ini pemerintah wajib pada peraturan pelaksana mengeluarkan 2 tipe penetapan, yaitu tipe halal dan tipe tidak halal, serta menjamin pelaksanaan sertifikasi dibiayai pemerintah karena pemerintah yang diperintahkan oleh UU untuk menjamin halal tersebut.

Baca juga:  Bangli Catat 17 Kasus COVID-19 Baru, 12 Orang dari Banjar Ini

“Sampai saat ini baru dari UU tersebut menjamin sertifikasi halal gratis bagi produk usaha kecil dan mikro, dan semestinya tidak dipungut biaya keseluruhan bagi pelaku usaha dan dibebankan ke APBN,” ujar Adhi Ardhana.

Sementara itu, Ketua PHDI Provinsi Bali, I Nyoman Kenak mengatakan generalisasi dari kebijakan ini tentu harus diukur dengan standar yang tepat, sehingga spirit yang baik tidak mempersulit produsen maupun konsumen dalam memenuhi kebutuhannya.

Baca juga:  Pemerintah Tetapkan Idul Fitri pada 10 April

Kenak meyakini kebijakan ini memiliki spirit yang baik untuk menjaga kualitas produk dapat terstandardisasi. Baginya, kebijakan ini melindungi konsumen dan memastikan produk layak guna dan layak konsumsi.

Kendati demikian, generalisasi dari kebijakan ini tentu harus diukur dengan standar yang tepat, sehingga spirit yang baik tidak mempersulit produsen maupun konsumen dalam memenuhi kebutuhannya. Apalagi, selama ini pemerintah telah menjalankan pengawasan terhadap produk. Salah satunya melalui BPOM.

“Kami pantau, misalnya BPOM juga konsisten menjaga standardisasi produk obat dan makanan. Regulasi ini tinggal dimatangkan kembali, mengingat pertumbuhan produk di Indonesia kian beragam,” tandanya. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN