Ketua Paruman Walaka PHDI Provinsi Bali, I Ketut Wartayasa. (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Satu di antara sekian fenomena soal arogansi kapitalisme telah terjadi di Bali baru–baru ini di Pantai Berawa. Kegiatan budaya dan agama diganggu aktivitas pariwisata berupa atraksi kembang api oleh beach club.

Jika dibiarkan terus, arogansi kapitalisme makin cepat menghancurkan Bali. Di sisi lain jika pariwisata menjadi andalan pembangunan maka jalankan dengan analisis SWOT. Pemimpin Bali harus buat blueprint pariwisata. Hal itu terungkap pada Dialog Merah Putih Bali Era Baru dengan tema ‘’Tantangan Pariwisata untuk Pemimpin Bali’’ pada Selasa (29/10) di Warung Bali Coffee Jalan Veteran 63 Denpasar.

Hal ini juga menjadi masukan bagus menjelang debat perdana Pilkada Bali yang diadakan KPU Bali, Rabu ini di Sanur yang membahas investasi, ekonomi dan pariwisata.

Hal ini pun memantik keresahan masyarakat lokal dengan arogansi yang dilakukan pelaku pariwisata. Tak heran, pariwisata menjadi kambing hitam dari segala permasalahan yang terjadi di Bali.

Menurut akademisi sekaligus Ketua Paruman Walaka PHDI Provinsi Bali,  I Ketut Wartayasa, siapapun yang ada di Bali wajib menjaga keharmonisan dan membangun komunikasi dan koordinasi. Dia mengingatkan kita jangan sampai arogansi kapitalisme menghancurkan  Bali.

Wartayasa menyayangkan adanya peristiwa atraksi kembang api di Pantai Berawa. Berdasarkan Bhisama Kesucian Pura yang merupakan produk PHDI, ada kawasan atau tempat yang harus dilindungi dan tidak dilanggar. Salah satunya, pantai yang merupakan kawasan suci.

Baca juga:  Erupsi Semeru, Korban Jiwa Bertambah Jadi Belasan dan Hampir Seribu Orang Mengungsi

Sesuai aturan Tata Ruang Nomor 2 Tahun 2023 seperti sempadan pantai, sudah dari dulu menjadi tempat upacara. Disebutkan pula bahwa sempadan pantai adalah kawasan suci. Dari fenomena yang terjadi belum lama ini di Desa Berawa, pihak desa telah melakukan komunikasi dan koordinasi.

Menurutnya investor yang berinvestasi di Bali harus paham sejak awal dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung sehingga kegiatan keagamaan yang dilakukan masyarakat hendaknya dijunjung tingi apalagi kawasan suci dilindungi aturan tata ruang.

“Orang yang melakukan kegiatan agama, ada sujud bakti yang dilakukan, akibat suara kembang api, suara genta dan mantra  tenggelam. Beberapa peserta upacara juga ngeri dan takut dengan kegiatan atraksi kembang api itu. Bagaimana kita di rumah sendiri ada perasaan takut dan ngeri. Kami bela umat kami sekalipun negara kita bukan negara agama,” ungkapnya.

Sekalipun beach club tersebut beralasan telah mengantongi izin, Wartayasa tetap  menegaskan  harus kembali pada prinsip di awal yaitu dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Apalagi pariwisata Bali berkonsep pariwisata budaya. “Memang pemasukan besar untuk daerah dari sana, tapi kita lihat dampak jangka panjang bagi anak-anak kita. Parisadha menyayangkan hal itu terjadi,” tegasnya.

Baca juga:  Pemprov Raih WTP Sepuluh Kali, Ketua BPK RI Apresiasi Gubernur Koster

Dalam teori perubahan socio kultural disebutkan, jika fenomena seperti itu terus terjadi maka akan terjadi super sosiologis agama. Sumber utama dari perilaku sosial bukan berasal dari dalam diri individu melainkan dari kelompok sosial. Orang-orang sering kali terbawa arus sosial, seperti penyebaran emosi dalam sebuah kerumunan (crowd) atau epidemik emosi religius. Seperti insiden the Dutch tulip craze di tahun 1634.

Pada kejadian tersebut, banyak orang menjual rumah dan tanahnya untuk membeli akar bunga tulip yang nilainya lebih mahal dari emas, namun akhirnya menjadi tidak berharga saat kegilaan (craze) ini berhenti (Kenrick dkk, 2002 dalam Maryam 2018, hlm. 18). “Jangan sampai arogansi kapitalisme menyebabkan hancurnya di Bali,” ujarnya.

Ketua DPD Asosisasi Wisata Agro Indonesia (AWAI) Bali, Bagus Sudibya mengatakan, mestinya situasi kontingensi yang tidak pernah terpikirkan harus diantisipasi. Permasalahan–permasalahan yang muncul di Bali agar jangan selalu mengkambinghitamkan pariwisata. Pariwisata Bali telah disepakati berkonsep pariwisata budaya, maka budaya lokal setempat mesti dijunjung tinggi.

Baca juga:  Gempa Susulan Masih Terus Guncang Karangasem, Tak Berkaitan dengan Aktivitas Gunung Agung

Maka jika ingin terus menjadikan pariwisata sebagai sumber ekonomi maka pariwisata harus dipelihara. “Karena ini yang menghidupi kita, tempat bergantungnya harapan masyarakat kita. Sehingga nantinya sustainable tourism harus dilakukan dengan hati jernih untuk mencari solusi dari masalah yang ada saat ini,” ujarnya.

Menurutnya, jika pariwisata tetap akan menjadi alternatif pembangunan maka jalankan dengan analisis SWOT. “Tentukan sikap dan buat blueprint pariwisata. Kalau tidak perlu pariwisata carikan alternatif,” tandasnya.

Ketua Aliansi Pelaku Pariwisata Marginal Bali, I Wayan Puspa Negara mengatakan, dalam setiap pertumbuhan, tantangan pasti selalu ada. Pariwisata Bali tidak hanya mengalami tantangan tapi juga ancaman berkaitan dengan prinsip dasar pariwisata.

Ia memotret 4 tantangan pariwisata Bali yang harus menjadi fokus perhatian pemegang kebijakan nantinya jika ingin pariwisata berkelanjutan. Keempat itu adalah infrastruktur, menurutnya tampak tidak bertumbuh. Selanjutnya keamanan dan kenyamanan, perilaku dan pelayanan masyarakat, serta branding dan promosi. “Kita cenderung saat ini melihat pariwisata mengarah apatis, kita cuek. Inilah yang harus dibangun pemerintah,” ujarnya.

Keempat tantangan tersebut menurutnya harus disikapi pemerintah terutama pemimpin Bali ke depan harus memperkuat law enforcement, mempunyai visi yang visioner. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN