Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.
Teknologi AI (Artificial Intelligence) berkembang sangat cepat belakangan ini. Ada berbagai aplikasi yang dapat digunakan baik oleh pendidik dan peserta didik dalam pelaksanaan pembelajaran. Banyak kemudahan dan kecepatan yang diberikan oleh AI. Salah satu AI yang sering digunakan baik oleh pendidik dan peserta didik adalah Google Translate.
Google Translate banyak sekali membantu dalam menerjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa target atau sebaliknya. AI lainnya yang sekarang sedang trending adalah jenis Generative AI seperti ChatGPT. Kalau pada Google Translate, kemampuannya hanya terbatas menerjemahkan dalam porsi kecil (beberapa paragraf), namun ChatGPT lebih hebat lagi, yakni memiliki pemahaman bahasa yang bagus, mengerti instruksi karena memiliki sumber informasi yang luas, bahkan sangat kreatif yang mampu membuatkan apa saja bagi ‘Sang Pengguna’ sesuai dengan instruksi yang diberikan.
AI memang super canggih yang mampu menawarkan banyak manfaat dan kemudahan, namun penggunaan teknologi ini juga menghadirkan tantangan serius dalam hal kemampuan berpikir kritis, integritas, dan kejujuran akademis. Dalam hal kemampuan berpikir kritis misalnya, peserta didik sering tidak mengupayakan untuk memecahkan masalah sendiri terlebih dahulu, tetapi cenderung langsung ‘menyuruh’ AI untuk mengerjakan tugas tertentu. Bila AI yang mengerjakan tugas semuanya (alias 100 persen), dan peserta didik mengakui sebagai karya sendiri, dapat dipastikan bahwa itu bukanlah pekerjaan mereka, tetapi pekerjaan sebuah alat.
Yang memprihatinkan dan mungkin karena kebelet jalan pintas supaya cepat adalah adanya kecenderungan peserta didik yang sudah ‘adiksi’ dengan AI yakni meminta AI membuatkan tanpa disertai dengan kemampuan berpikir kritis untuk review dan memparafrase kata-kata yang sering ‘aneh-aneh’ di luar topik, sehingga dapat dicurigai bahwa tulisan atau tugasnya memang dihasilkan oleh AI. Hal ini mengindikasikan bahwa peserta didik menggunakan AI tanpa menggunakan kemampuan berpikir kritis (nalar), karena menghasilkan tugas tanpa pemahaman terhadap konten tugas.
Dalam hal integritas dan kejujuran, salah satu isu utama adalah plagiarisme, yaitu menjiplak pendapat, teori, konsep penulis tertentu seolah menjadi tulisan sendiri, karena tidak menyebutkan sumber rujukan dimana pendapat, teori atau konsep diambil. Kejujuran akademik memang sedang dipertaruhkan belakangan ini dengan kehebatan AI.
Bila pendidik tidak sadar dengan hal ini, disertai tidak mau mengupdate penguasaan dan keterampilan mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran, mereka akan dapat ‘dikibuli’ oleh peserta didik dengan tampilan hasil tugas yang bagus bahkan super bagus, yang sesungguhnya produk sebuah teknologi bukan manusia.
Kita memang tidak bisa menghindar dari badai pemanfaatan AI yang dahsyat. Kita juga tidak perlu melarang pemanfaatannya karena pemerintah juga telah mengeluarkan pedoman pemanfaatan AI dalam pembelajaran. Hanya saja yang patut ditekankan saat ini adalah bagaimana AI dimanfaatkan secara bijak oleh para pengguna. Beberapa cara penggunaan AI yang etis adalah memastikan misalnya informasi yang didapatkan itu benar dan sumbernya jelas. Kemudian, bila menggunakan AI semisal Google Translate dalam menerjemahkan, hasil tejemahan sangat perlu direview untuk memastikan kata-kata dan struktur gramatika yang digunakan benar. Disinilah tugas pengguna untuk memparafrase.
Berikutnya adalah untuk menghindari plagiarisme, bila AI digunakan untuk membantu mempercepat menemukan sumber-sumber rujukan dan menggunakan informasi yang didapatkan dari sumber-sumber tersebut, kita wajib menyebutkan sumber-sumber rujukan yang disitasi dan kemudian mendaftarkannya pada daftar referensi. Bila semisal yang dituliskan berupa laporan penelitian, isi dari temuan penelitian mestinya terkait dengan data yang didapatkan di lapangan, bukan fabrikasi data yang dibuatkan oleh AI. Data riil adalah data yang dikumpulkan melalui instrumen penelitian yang valid dan reliabel.
Bila tugas yang dibuat merupakan tugas kelompok, maka setiap anggota kelompok harus berkolaborasi untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Mereka memiliki tanggung jawab masing-masing dalam penyelesaikan tugas dengan ide-ide kelompok yang original. Dalam proses penyelesaian, tentu AI bisa digunakan baik untuk menstimulasi rancangan tugas atau menampilkan produk yang lebih berkualitas. Jadi, AI digunakan sebagai alat bantu semata, bukan sebagai ‘mesin pembuat tugas’.
Simpulannya adalah penggunaan AI dalam pendidikan memiliki potensi untuk mengubah cara belajar dan mengajar. Namun, untuk memanfaatkan potensi ini secara maksimal, kita harus tetap berkomitmen pada integritas dan kejujuran akademik. Dengan cara-cara yang benar, teknologi dapat meningkatkan pengalaman belajar tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi. Semua pihak (institusi, pendidik, dan peserta didik) harus memastikan penggunaan teknologi hanya terbatas pada alat pembelajaran yang berupaya memberdayakan kompetensi dan membudayakan sikap yang tidak mencederai integritas dan kejujuran akademik.
Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris