DENPASAR, BALIPOST.com – Wacana wisata halal kembali mencuat dan disebut akan dilanjutkan di Bali. Salah satu lembaga Hindu di Bali, yaitu DPD Prajaniti Hindu Indonesia Provinsi Bali pun dengan tegas menolak wacana tersebut.
Menurut Ketua DPD Prajaniti Bali, Dr. Wayan Sayoga, wisata halal di Bali tidak selaras dengan budaya Bali. Ia mengungkapkan, pariwisata di Bali sesuai amanat UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan adalah pariwisata yang memiliki kekhususan sesuai dengan potensi segala sumber daya yang ada di Bali dan dijiwai oleh spirit kearifan lokal yang menunjang kepariwisataan nasional.
Sayoga menceritakan ketika wacana ini mencuat tahun 2019, pihaknya dalam berbagai platform media telah menyatakan penolakan. Menurutnya, Bali bukan untuk pariwisata, namun pariwisata untuk Bali yang berkepribadian dan berkearifan lokal sesuai dengan napas Bali yakni kearifan lokal Tri Hita Karana yang merupakan ajaran luhur orang Bali dari sejak dahulu. Dikatakan, dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 dalam angka (12) disebutkan bahwa Kepariwisataan Budaya Bali adalah kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepada Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh filosofi Tri Hita Karana yang bersumber dari nilai-nilai budaya dan kearifan lokal Sad Kerthi serta berbasis taksu Bali.
Sehingga pariwisata di Bali sudah selesai secara tekstual dan Pemerintah Pusat melalui Menteri Pariwisata RI wajib melakukan penguatan-penguatan tanpa menganggu ciri khas pariwisata Bali yang berbasis budaya dan dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu dan filosofi leluhur Bali, Tri Hita Karana. Dokter Sayoga menyatakan pihaknya telah bersurat secara resmi ke Kementerian Pariwisata Kabinet Merah Putih yang baru dilantik tempo hari.
DPD Prajaniti Bali mendesak agar Menteri Pariwisata dan jajaran untuk menghentikan segala macam bentuk pembahasan dan penerapan tentang wisata-wisata dalam bentuk dan jenis apapun selain pariwisata budaya berbasis kearifan lokal Tri Hita Karana yang dijiwai oleh Agama Hindu di Provinsi Bali.
Ia mendukung pemerintah Provinsi Bali memperkuat pariwisata Bali, sesuai Perda Nomor 12 tahun 2012 tentang Pariwisata Budaya sebagai landasan hukum bagi Provinsi Bali menjadi ikon kepariwisataan nasional berbasis kearifan lokal dan mendorong pemerintah Provinsi Bali dan stakeholder terkait melakukan langkah-langkah penertiban terhadap “labeling” warung, restoran, hotel tersebut.
Menurutnya, adanya label agama tertentu justru berpotensi melebarkan jarak persaudaraan sebangsa dan setanah air Indonesia yang berbhinneka, serta mempertebal sekat-sekat kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akan lebih teduh dan bijak memakai nama daerah masing-masing. Misalnya, warung Manado, Padang, Bali, Lamongan, Madura dan lain sebagainya yang mencerminkan keunikan dan keragaman Nusantara.
Untuk itu, DPD Prajaniti Bali menolak setiap upaya oknum, lembaga manapun yang memaksakan kehendaknya memberlakukan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur kearifan lokal Bali dengan dalih apapun. Baginya, wacana yang berdalih primordialisme agama tertentu tidak bisa dibawa dan dipaksakan untuk diberlakukan di daerah manapun di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpondasikan Bhinneka Tunggal Ika dengan keberagaman tradisi dan kearifan lokalnya.
“Semangat dan praktik beragama yang bersifat privat sepatutnya tidak dijadikan konsumsi publik dan komoditas politik. Biarkan urusan beragama menjadi perkara privat tiap orang dan keluarganya. Adalah sangat berbahaya dan merusak, jika agama terlibat jauh dalam urusan politik praktis. Justru politik haruslah dijiwai oleh nilai kasih yang satu adanya yang menjadi esensi setiap agama manapun,” tegas Sayoga.
Untuk itu, pihaknya berharap agar Pemerintah pusat harus berani menjadi role model untuk menghentikan wacana halal dan non halal karena Indonesia bukan negara agama, namun adalah negara yang menjunjung tinggi kebhinekaan. (Ketut Winata/balipost)