Prof. Wayan Suartana. (BP/Dokumen)

Oleh I Wayan Suartana

Debat publik lewat media elektronik Pilkada di Bali telah berlangsung lancar. Saya mencatat isu yang paling sering muncul adalah soal sustainability atau keberlanjutan. Isu ini muncul diakibatkan oleh tuntutan eksternal tentang pembangunan berkelanjutan, pemanasan global, ekonomi hijau dan apa yang dirasakan oleh masyarakat yang semakin “tidak bahagia” karena dampak masif pariwisata, kemacetan, sampah, air bersih dan polusi. Ini bukan persoalan mudah.

Bali yang merana saat Covid lalu bangkit saat ini, secara ekonomi tentu hal yang menggembirakan. Tetapi Bali yang penuh sesak  memunculkan semacam “ketidakadilan” bagi masyarakat tentang makna hidup sesungguhnya. Semua paslon kebanyakan memberikan jawaban normatif dan memang sulit mencari jawaban solutif pada kondisi yang sangat kompleks. Lalu apa makna sesungguhnya dari sebuah debat.

Baca juga:  Debat Publik Kedua Pilgub Bali, Jumlah Pendukung Diperbolehkan Hadir Ditambah

Idealnya debat adalah pertarungan ide dan gagasan, sebuah tontonan determinan mengapa memilih X bukan Y atau Y bukan X. Debat bukan lomba cerdas cermat yang ada pemenangnya. Debat memperlihatkan “public speaking” seorang figur.

Debat tidak serta merta tentang kompetensi permasalahan tetapi ketenangan dalam segala situasi. Ada juga yang meragukan efektivitas dan relevansi debat. Mungkin angka di bawah 20 persen akan mempengaruhi pilihan sebagai dampak dari debat.

Dalam demokrasi elektoral ini ada fenomena “penjangkaran” dan “eskalasi komitmen” terhadap pilihan awal. Dia tidak akan berpengaruh terhadap apapun termasuk dinamika debat. Penjangkaran di pikiran tidak berdampak untuk melakukan penyesuaian. Dia melakukan konfirmasi terhadap apa yang diyakini. Atas nama “kesopanan” akan membangun-angguk ketika dikonfirmasi.

Hal yang biasa terjadi dan sah-sah saja. Pemilih melakukan “eskalasi komitmen” terkesan beda tipis dengan fanatisme meskipun esensinya bisa berbeda. Fanatisme cenderung ke arah aras emosional yang dicarikan “pokoke” sedangkan eskalasi komitmen masih ada kalkulasi kognitif di pikirannya. Dalam konteks ini debat tidak akan mengubah pilihan.

Baca juga:  Gelebet dan Arsitektur Bali

Secara teori debat akan menyasar pada pemilih yang masuk kategori masa mengambang. Pertanyaannya, apakah masa mengambang semakin kritis dan skeptis terhadap paparan saat debat. Bisa saja  mengatakan “visi bagus tetapi kurang realistis”.  Impresi demokrasi Itu masalah persepsi dan persepsi itu berada pada ruang random bagai sumur tanpa dasar.

Debat itu penting tetapi belum cukup tanpa disertai  internalisasi paslon terhadap apa yang diucapkan dan dijanjikan. Internalisasi adalah kontrak psikologis terhadap dirinya sendiri.

Misalnya; “kami akan membangun ini ketika kami dipercaya memimpin”. Janji adalah obligasi, utang yang harus dibayar. Kontrak psikologis menuntun paslon akan menepati atau tidak. Bila kontrak psikologi cedera maka masuk wilayah “menipu diri sendiri”.

Baca juga:  Dominasi Debat Publik Pertama, Dana-Swadi Siapkan Tiga Program Baru 

Menipu diri sendiri berasal dari niat. Niat seseorang menjadi prediktor terbaik dari perilaku. Artinya, ketika niat itu 100 persen maka perilakunya akan berada pada kisaran 70-80 persen. Kata bijak; “semua dari niat”.

Janji yang diucapkan oleh paslon saat debat akan diingat oleh pemilih. Sayangnya “memori” terkadang pendek dan terlalu mudah memaafkan. Karena itu, debat sesungguhnya lebih banyak internalisasi terhadap diri sendiri. Kewarasan dan ketajaman berpikir, berbicara dan berperilaku akan membuat menjadi pemimpin yang terbang di angkasa tetapi tetap menapak bumi.

Penulis, Guru Besar FEB Unud

BAGIKAN