Sejumlah wisatawan mancanegara berada di kawasan Pasar Seni Ubud, Gianyar. (BP/Melynia Ramadhani)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sejumlah tokoh masyarakat Bali mengingatkan Menpar saat ini soal pariwisata halal di Bali. Pariwisata Bali tak perlu bersertifikasi halal, karena bisa menghilangkan identitas pariwisata Bali itu sendiri.

Hal itu disampaikan praktisi pariwisata Dr. Gusti Kade Sutawa, Senin (4/11). Apalagi, kewajban melakukan sertifikasi halal bagi industri pariwisata tak akan berpengaruh signifikan terhadap kunjungan wisatawan terutama wisatawan asing ke Bali.

Berdasarkan data BPS Bali pada September 2024, kunjungan tertinggi justru berasal dari wisatawan nonmuslim yaitu Australia sebanyak 148.131, kedua tertinggi yaitu Tiongkok 41.002, dan India 40.422.

“Wisman yang ke Bali kan tidak ada Timur Tengah, yang ada cuma Malaysia. Itu artinya Timur Tengah tidak banyak. Tentu domestik cukup banyak. Pengalaman saya, 25 tahun di industri pariwisata, memang terkadang satu grup dari Malaysia, minta agar makanan tidak mengandung babi, hanya begitu. Mereka tidak fanatik harus ada berlabel halal. Artinya sangat kecil pengaruhnya,” ujarnya.

Sutawa mengatakan pariwisata Bali harus mengacu pada UU Kepariwisataan nomor 10 tahun 2009 yaitu pembangunan pariwisata dilakukan dengan pertimbangan karena keragaman budaya, seni, artefak, keindahan alam, beragamnya flora dan fauna, dan tidak disebutkan karena agama.

Baca juga:  Kasus PDAM, Cabjari Nusa Penida Tetapkan Dua Tersangka

“Artinya hal itu yang harus diunggulkan, kalau halal itu kan belakangan baru muncul karena dianggap Indonesia negara mayoritas beragama Islam. Tapi kalau kita ajak bicara tamu–tamu asing, tidak ada yang fanatik. Walaupun sebenarnya di destinasi wisata ada warung atau restoran yang menyajikan makanan halal tapi babi guling juga menjadi pilihan wisatawan,” ujarnya.

‘’Maka dari itu menurutnya Indonesia harus konsisten pada pariwisata budaya, tidak perlu membuat branding baru yaitu dengan sertifikasi halal,” tegasnya.

Ia berharap Menpar di Kabinet baru meniru menteri–menteri pariwisata sebelumnya yang paham dengan pariwisata Indonesia. Jangan sampai pariwisata Indonesia termasuk Bali akan kehilangan identitasnya seperti yang terjadi di Singapura.

Menurutnya, buat apa branding halal dimunculkan, toh juga yang dicari wisatawan adalah keunikan budaya, keragaman, seni. “Sertifikat halal sangat tidak urgen dan tidak perlu, dan kita harus punya prinsip, pariwisata yang kita jual adalah pariwisata budaya,” tegasnya.

Baca juga:  Kabar Baik! Bali Catatkan Tambahan Pasien Sembuh di Atas 250 Orang

Pariwisata di Bali sudah booming sejak tahun 1990. Tak ada wisatawan yang fanatik terhadap halal dan tidak. Seperti Raja Arab ke Bali di waktu yang lalu sangat enjoy berwisata ke Bali. “Jangan sampai Bali berubah, diarah-arahkan ke halal dan nonhalal. Ciri khas pariwisata Bali harus dipertahankan,” ujarnya.

Pariwisata Bali berkembang dimulai dari bawah (masyarakat). Perkembangan pariwisata Bali tak lepas dari peran budaya Bali di dalamnya, hingga kini menjadi konsep dasar pariwisata Indonesia. Sehingga identitas budaya dan kearifan lokal hendaknya dijunjung tinggi menjadi identitas pariwisata Indonesia.

Ketua Bali Tourism Board (BTB) IB Agung Partha Adnyana mengatakan, wisata halal adalah langkah untuk memenuhi kebutuhan wisatawan Muslim tanpa mengubah identitas destinasi utama, seperti Bali. Alasannya, diperkirakan ada 20-25 persen dari total kunjungan wisatawan internasional yang memerlukan kualifikasi halal, terutama dari negara–negara Muslim.

Baca juga:  I Dewa Gede Wirajana Jabat Wakajati Bali

Menurutnya sertifikat halal penting karena dapat memberi kenyamanan bagi wisatawan Muslim, memastikan mereka memiliki akses ke fasilitas wisata yang sesuai, seperti makanan halal, dan tempat ibadah. Sehingga pengalaman wisata mereka menjadi lebih aman dan berkesan.

Meski ada kewajiban sertifikasi halal, namun kata Gus Agung, panggilan akrabnya, tidak akan membatasi produk dan jasa wisata yang diberikan pada wisatawan. “Adanya sertifikasi halal tidak akan membatasi produk dan jasa pariwisata yang dijual,” ujarnya.

Sertifikasi halal hanya menjadi tambahan opsional bagi produk dan layanan tertentu untuk memenuhi kebutuhan wisatawan Muslim yang menginginkan jaminan kehalalan. Sedangkan produk dan layanan wisata non-halal tetap dapat tersedia, sehingga keragaman pilihan bagi wisatawan tetap terjaga tanpa mengubah identitas destinasi wisata. “Buktinya salah satu hotel kita, The Royal Santrian bersertifikat halal tapi tetap bisa menjual minuman beralkohol,” tandasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN