Wisatawan mancanegara sedang berjalan-jalan di Sanur, Denpasar. (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Terlalu banyak keinginan pusat untuk mengelola pariwisata Bali yang bertujuan untuk maju, namun keinginan tersebut belum tentu baik untuk Bali bahkan belum tentu dikehendaki oleh masyarakat Bali. Maka dari itu, Bali perlu diberi ruang untuk mengelola mandiri pariwisatanya yang memberi manfaat bagi masyarakat Bali secara utuh. Demikian disampaikan akademisi pariwisata Universitas Udayana Prof. Dr. Drs. I Putu Anom B.Sc., M.Par., CTE. Selasa (5/11).

Ia mengatakan, telah ada otonomi daerah yang berlaku di kabupaten/kota untuk mengelola daerahnya. Sehingga tata kelola dari pemerintah pusat hendaknya sejalan dengan perencanaan yang dilakukan di tingkat daerah.

Secara nasional juga telah ada rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional (Ripparnas) yang telah disepakati bersama, ada juga di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tinggal diikuti saja dan konsisten menerapkannya.

Baca juga:  Creativity Day for Teachers Jalankan Misi Bangun Generasi Sadar Wisata

Menjadikan Bali seperti Singapura atau Hongkong menurutnya perlu dicermati, apa yang perlu disamakan. Menurutnya bagus jika ingin meniru dari sisi pengelolaan bandara atau pelayanan kepariwisataan. Namun, jika menjadikan Bali seperti Singapura atau Hongkong maka Bali bisa kehilangan identitasnya.

Anom mengatakan Bali harus memiliki keunikan tersendiri yang harus ditonjolkan agar berbeda dengan negara lain. Termasuk upaya melakukan sertifikasi halal semua produk, justru akan membebani pelaku usaha. “Sama dengan Singapura dan Hongkong mungkin dari sisi tata kelola, kebersihan, pelayanan bandara di sana,” tandasnya.

Sementara urusan tata kelola pariwisata harus sesuai kewenangan otonomi kabupaten/kota di Bali, seperti desain bangunan. “Usahakan siapkan pengembangan Bali supporting tourism product untuk kebutuhan industri pariwisata sehingga bisa menghidupkan pertanian. Dalam hal ini kita bisa meniru negara lain dalam pengelolaan sektor pertaniannya,” ujarnya.

Baca juga:  Mengenal MemeFi, Permainan yang Gabungkan Blockchain dan Teknologi Sosial

Ikon Bali harus tetap dipertahankan yaitu budaya yang ditunjang keindahaan alam dan supporting tourism product yang sewaktu-waktu bisa dikunjungi wisatawan.

Selain itu, branding Bali jangan lagi dicampur dengan wisata halal karena konsep pariwisata budaya untuk Bali sudah cukup kuat menarik wisatawan. Ia khawatir jika branding pariwisata Bali berubah maka akan berdampak terhadap pasar wisatawan Bali.

“Bali sudah terbiasa meng-handle wisatawan muslim tanpa sertifikasi halal, jadi tidak perlu branding halal dimunculkan. Pariwisata budaya yang diusung  selalu mengakomodir kebutuhan wisatawan muslim,” tandasnya.

Sementara pengamat ekonomi dan penasihat Keuangan dan Perbankan Viraguna Bagoes Oka mengatakan, pariwisata Bali telah telanjur menghadapi permasalahan sistemik yang akut sejak 2 dekade terakhir, sejak pascakrisis moneter 1998. Di antaranya, kemacetan, sampah, investasi bodong, money laundering, bisnis kanibalisme, mafia tanah, pariwisata murahan, hingga ancaman terkini terkait pariwisata halal.

Baca juga:  Curi Dinamo Mesin Penyosohan Padi, Gung Gabol Diciduk Polisi

Maka dari itu menurutnya, sudah sangat mendesak Bali membutuhkan pemimpin yang bisa memastikan Bali mendapatkan kewenangan atau otoritas khusus di bidang kewenangan pengelolaan pariwisata berbasis kearifan lokal, kewenangan penanganan keimigrasian dan investasi atau penanaman modal serta kewenangan pengelolaan pintu masuk Bali berikut dalam pemungutan biaya Visa On Arrival (VOA).

Dalam rangka mengembalikan dan mewujudkan Bali yang mandiri di bidang pariwisata dan kemandirian di bidang sumber keuangan daerah mengingat Bali tidak memiliki sumber dana dari sumber daya alam kecuali dari sumber dana dari pariwisata semata. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN