Calon Bupati Karangasem I Gede Dana saat melakukan simakrama kepada masyarakat. (BP/Istimewa)

AMLAPURA, BALIPOST.com – Isu praktek politik uang atau money politic semakin liar di tengah panasnya situasi politik di Kabupaten Karangasem. Pratiknya, ada yang melakukan mobilisasi KTP di seluruh desa, dalih uang bensin, dan berbagai motif lainnya.

Namun, bagi pasangan calon I Gede Dana-I Nengah Swadi, upaya seperti itu tak mungkin dilakukan. Karena sejak awal Dana-Swadi konsisten menghormati proses demokrasi, sehingga gaya kampanyenya selalu mengedepankan sosialisasi program yang benar-benar pro rakyat.

Jika masyarakat Karangasem melihat bagaimana latar belakang calon Bupati Karangasem I Gede Dana, isu politik uang itu kian sulit dipercaya dilakukan Dana-Swadi. Gede Dana merupakan politisi yang lahir di desa.

Konsisten dalam garis ideologi PDI Perjuangan, hingga dipercaya rakyat menjadi kepala daerah. Dia bukan lahir dari kalangan ningrat politik atau pengusaha, yang punya cukup uang untuk melakukan money politic. “Soal politik uang, tim kami sudah pasti tidak melakukan itu, apalagi saya minim anggaran,” terang Gede Dana, Kamis (14/11).

Baca juga:  Persembahyangan Awali Pendaftaran 'Nadi' ke KPU Karangasem

Kuat dugaan isu ini sengaja dibelokkan oleh para pihak lawan politiknya, yang mungkin saja sedang gencar menggalang KTP masyarakat dengan janji realisasi uang. Itu pun cair setelah pencoblosan dan menang. Setidaknya hal itu mencuat di media sosial, setelah beredar luas tangkapan layar chat whatsApp, adanya mobilisasi KTP lengkap dengan nama dan nomor KTP dengan iming-iming Rp 200 ribu per orang.

Baca juga:  Baru Awal Tahun, Kerugian Akibat Bencana Alam di Karangasem Hampir Rp 1 Miliar

Dana mengatakan jika akan beradu gagasan, program, pengalaman, rekam jejak dan segala aspek kepemimpinan daerah, Dana-Swadi mampu melaksanakannya dengan baik. Masyarakat Karangasem bisa menyimaknya dalam tiga kali debat terbuka secara live.

Ia mengatakan Dana-Swadi paling siap melanjutkan kepemimpinan di ujung timur Pulau Dewata ini. “Semoga tidak ada pihak yang sengaja membelokkan fakta, yang sedang mereka kerjakan sendiri,” tegas Gede Dana.

Dalam konteks politik uang, ia menjelaskan sudah ada ketentuan baru. Jika ditemukan pelanggaran itu, dilengkapi bukti-bukti yang konkrit, sanksi tegas bisa langsung dijatuhkan kepada pemberi maupun penerima.

Jika saat pemilu penindakan politik uang hanya bisa dilakukan kepada tim kampanye, di Pilkada bisa dilakukan orang per orang jika Bawaslu menemukan ada praktik itu.

Baca juga:  KPU Karangasem Mulai Rakit Kotak Suara Pilkada

Sanksi pemberi dan penerima politik uang Pilkada diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Ketentuan sanksi politik uang dalam konteks ini, diatur pada Pasal 187A, dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat satu. (kmb/balipost)

BAGIKAN