Joged Bumbung. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST. com – Joged bumbung adalah salah satu Tari Bali yang menjadi Warisan Budaya Dunia Tak Benda (WBDTB) UNESCO. Ditetapkan pada 2015, tarian ini masih dilestarikan sampai saat ini.

Tarian ini biasanya ditarikan oleh seorang wanita, ditarikan dengan gerak ritmis yang indah. Tetapi seiring berjalannya waktu pakem sesungguhnya tarian pergaulan ini justru makin ditinggalkan dan banyak gerakannya dimodifikasi.

Muncul lah sebutan Joged Bumbung Jaruh karena gerakannya tidak senonoh dan sensual sehingga kerap disalahartikan sebagai tontonan berbau seksual dan erotis.

Kondisi ini pun menimbulkan keresahan di kalangan seniman dan budayawan karena merusak citra tarian itu dan Bali secara umum sehingga Pemerintah Provinsi Bali menindaklanjuti dengan mengeluarkan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 18 Tahun 2024 tentang Ilikita Joged Bumbung.

Dalam edaran yang ditandatangani Pj. Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya, disebutkan banyak penari Joged Bumbung yang melakukan inovasi terhadap gerak-gerak pakem yang memberi kesan tidak senonoh dan mengeksploitasi tubuh dengan aksi seksual atau porno aksi sehingga melanggar nilai-nilai budaya Bali.

Baca juga:  Tepergok Beraksi di ATM, 2 WNA Ditangkap

SE juga menyebutkan Joged Bumbung Jaruh bertentangan dengan kaidah tarian Bali yang berunsurkan logika, etika, dan estetika agama Hindu atau sering disebut sebagai siwam (kesucian, logika), satyam (kebenaran, etika), dan sundaram (keindahan, estetika), sehingga menodai harkat dan martabat kesenian Bali.

Adapun unsur pertama yang dianggap sebagai mengeksploitasi tubuh dengan aksi seksual atau porno aksi yakni gerakan penari joged dan/atau pangibing. Seperti halnya gerakan memamerkan kemaluan dan payudara; gerakan angkuk-angkuk yang saling berhadapan; gerakan angkuk-angkuk dari belakang; gerakan saling tindih; dan pola ibing-ibingan yang sampai memegang kemaluan pengibing dan/atau penari.

Kedua yaitu dari segi kostum, yakni kain atau kamen macingcingan sampai di atas lutut dan terbelah di depan sehingga terlihat pahanya. Selain itu, aksi-aksi yang dianggap porno dan provokatif ini turut merusak kesakralan joged bumbung asli dan mengakibatkan keresahan masyarakat.

Baca juga:  KTT G20, Aktivitas Masyarakat Dibatasi hingga Hewan Peliharaan Dikandangkan

Begitupun dengan penyebaran video joged bumbung jaruh di media sosial dinilai memperburuk citra budaya Bali di mata publik. Oleh sebab itu perlu dilakukan tindakan pelarangan terhadap pementasan joged bumbung jaruh, sekaligus meniadakan penayangan kesenian tersebut di seluruh media sosial.

Seperti apa sih pakem menari Joged Bumbung yang benar? Berikut tiga unsur dari pakem tarian ini menurut Majelis Kebudayaan Bali (MKB) Provinsi Bali:

1. Kesucian (siwam, logika)

Harus sesuai dengan Dharma Pegambuhan. Di tempat pementasan melakukan proses penyucian terlebih dahulu. Penggunaan alat gamelan dan perlengkapan untuk menari harus disucikan secara ritual.

2. Etika (satyam, Kebenaran)

Mengikuti dharmaning sesolahan tari sosial dan pergaulan Bali. Tidak melakukan adegan-adegan yang seharusnya tidak dilakukan, seperti berciuman atau berpelukan.

Mengikuti struktur yang sudah ada meliputi papeson, pengadeng, dan pangecet.

Baca juga:  Hanya Satu Pesawat, Rombongan Obama Lebih Simpel dari Raja Salman

3. Estetika (sundaram, keindahan)

Aturan Tari Joged Bumbung mengikuti kaidah tarian Bali yang disebut Panca Wi. Yaitu wiraga (gerak tari), wirama (musikal), wirasa (rasa), wibawa (kharisma), dan wicara (dramatik).

Selain ketiga hal tersebut pakem dalam Tari Joged Bumbung ini mengatur tentang busana yang benar, yakni memakai pakaian yang cukup sederhana seperti, kain songket (endek), baju kebaya, dan selendang.

Dari awal penari Joged Bumbung memegang sebuah kipas untuk menepak pasangannya. Gelungan atau hiasan di daerah kepala yang digunakan oleh penari Joged Bumbung juga sederhana, berupa petitis (dahi) yang di bagian belakangannya dihiasi dengan bunga cempaka segar yang indah.

Bagian depan Gelungan Joged Bumbung mirip dengan Gelungan Papudakan. Kain atau kamen yang dikenakan melilit bagian bawah tubuh hingga menutupi mata kaki. (Ni Wayan Linayani/balipost)

BAGIKAN