: Para lansia yang tergabung dalam Paguyuban Purna Bhakti Husada Wredi melakukan senam pada Hari Gangguan Gerak Sedunia. (BP/may)

DENPASAR, BALIPOST.com – Gangguan gerak pada anggota tubuh jangan dianggap sepele. Pasalnya gangguan gerak yang terjadi misalnya pada tangan, kepala atau mata, bisa menjadi indikasi stroke. Demikian disampaikan Dokter Spesialis Saraf RS Prof. Ngoerah dr. Sri Yenni Trisnawati, Sp.N (K), Minggu (17/11).

Ia menjelaskan, penyakit gangguan gerak merupakan gerakan yang tidak harmonis dan tidak normal yang terjadi pada seseorang karena gangguan pada sarafnya. Penanganan penyakit gangguan gerak perlu dilakukan meski tak berakibat fatal, bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup.

Jumlah pasien gangguan gerak memang tidak sebanyak pasien stroke. Namun pasien gangguan gerak yang dilayani poliklinik khusus gangguan gerak RS Prof. Ngoerah per harinya bisa mencapai 15-20 pasien. Sub unit gangguan gerak telah dimiliki RS Prof. Ngoerah sejak 2022.

Menurutnya, pasien yang masuk tersebut merupakan hasil dari edukasi terus menerus yang dilakukan terkait gangguan gerak. “Masyarakat menjadi aware. Sedikit mengalami tremor, mereka sudah mulai ke RS. Dulu pasiennya sedikit tapi sekarang sudah mulai dikenal,” ujarnya.

Baca juga:  Cakupan Vaksinasi Lansia di Bangli Mencapai 56,5 Persen

Terutama layanan atau pengobatan injeksi botulinum toksin (botox) yang ada hanya di RS Prof. Ngoerah. Pengobatan ini diberikan pada pasien dengan hemifacial spasm, kekakuan di daerah wajah dan kelopak mata.

Pengobatan ini juga bisa diberikan pada gerakan dystonia. Berbeda dengan botox pada layanan estetika, botox pada pengobatan saraf adalah untuk gangguan saraf.

Dokter Spesialis Saraf Prof. Dr.dr. DPG. Purwa Samatra, saat memperingati Hari Gangguan Gerak Sedunia di Gedung Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak RS Prof. Ngoerah mengatakan, stroke bisa menyebabkan gangguan gerak namun tingkat fatalitas dari gangguan gerak tidak tinggi atau menyebabkan kematian. Namun dengan pengobatan yang benar bisa disembuhkan.

Baca juga:  Martinique Lakukan Penguncian Lebih Ketat

“Penyakit gangguan gerak, adalah gerakan yang tidak normal yang disadari oleh pasien, namun tidak bisa dihilangkan olehnya. Berbeda dengan kejang, yang mana mereka tidak sadar dan  tidak ingat,” imbuhnya.

Penyebabnya memang lebih banyak karena faktor usia, umumnya terjadi apda usia 60 tahun ke atas. Pada pada usia muda kasus gangguan gerak jarang terjadi.

Jika mengalami gangguan gerak, ia mengimbau agar segera melakukan konsultasi ke bagian neurologi. “Penyakit ini bisa ditangani, tidak berbahaya hanya saja  tidak nyaman bagi pasien. Gangguan gerak jangan dianggap sepele, bukan hanya karena faktor ketuaan, tapi ada faktor yang bisa mempengaruhi dan bisa ditanggulangi sehingga hidupnya nyaman, tidak ada gangguan gerak dan berkualitas,” ujarnya.

Baca juga:  Tiga Zona Merah dan Dua Orange Catatkan Tambahan Korban Jiwa COVID-19, Wilayah Ini Terbanyak

Direktur Utama RS Ngoerah dr. I Wayan Sudana, M.Kes.mengatakan, gangguan gerak sebagian besar muncul pada usia lanjut. “Edukasi terkait gangguan gerap perlu terus dilakukan kepada masyarakat supaya mengenal gangguan gerak karena di masyarakat gangguan gerak disamakan dengan penyakit tua, salah tidur. Tapi salah satu gangguan gerak, adalah gejala awal penyakit stroke, gula darah tinggi sehingga menyebabkan muncul gerakan-gerakan aneh,” ujarnya.

Ditambahkan Ketua Paguyuban Purna Bhakti Husada Wredi Dewa Agung Ketut Sudarsana dan Pembina, dr. Lanang Rudiartha, usia lanjut perlu lebih banyak bergerak agar dapat menjalani hidup lebih berkualitas, terbebas dari penyakit gangguan gerak. Paguyuban yang aktif sejak 6 tahun itu juga aktif mengajak anggota mengikuti berbagai acara agar dapat meningkatkan kualitas hidup di usia lanjut. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN