Sejumlah anak bermain tajog (enggrang) di Denpasar. Permainan ini merupakan salah satu permainan tradisional Bali. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kondisi permainan rakyat di Bali belakangan ini, sudah kehilangan peminat dan ruang bermain. Kalaupun ada masih melakukan itu cenderung dipaksa. Berbeda dengan zaman dulu, permainan rakyat seakan menjadi keseharian anak-anak sebagai ajang bersosialisasi dan menumbuhkan rasa percaya diri.

Hal itu disampaikan Kadek Wahyudita, S.Sn., M.Sn. ketika menjadi narasumber pada Diskusi Terpumpun, Focus Group Discussion (FGD) dengan Topik “Olah Raga Tradisional dan Permainan Rakyat”, di Ruang Sarasehan UPTD Taman Budaya Provinsi Bali, belum lama ini.

Kegiatan serangkaian Kongres Kebudayaan Bali IV Tahun 2024 yang digelar Dinas Kebudayaan Provinsi Bali juga menghadirkan I Gusti Ngurah Agung Cahya Prananta, S.Pd., M.Fis. sebagai narasumber dan dimoderatori oleh dr. Ida Bagus Wiryanatha, M.Si. FGD., ini diikuti oleh guru-guru PAUD, TK dan SD, ketua komunitas anak-anak dan praktisi permainan rakyat.

Baca juga:  Over Kapasitas, Lapas Tabanan Siapkan Dua Ruang Khusus Isolasi

Wahyudita menyampaikan Permainan Rakyat (plalianan) adalah permainan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan tradisi masyarakat agraris. Secara umum, permainan rakyat memiliki karakter sederhana, menggunakan alat-alat yang gampang didapat dari alam sekitar, serta dimainkan secara kolektif. I Made Taro mencatat ada 250 jenis permainan rakyat di Bali.

Permainan Rakyat dimasukkan ke dalam objek pemajuan kebudayaan dan dilindungi oleh Undang-undang nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan. “Karena pentingnya peran permainan rakyat bagi kehidupan budaya dan masyarakat Bali, maka perlindungan, pembinaan, pengembangan, dan pemanfaatan permainan rakyat harus dilakukan,” ungkapnya.

Permainan Rakyat Bali kembali digeliatkan oleh seluruh elemen, baik pemerintah, pendidikan, komunitas, dan masyarakat. Hal ini sebagai langkah kesadaran bahwa permainan rakyat memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalu, permainan rakyat sering dilakukan di ruang-ruang publik yang ada di desa. Namun, perubahan zaman membuat ruang-ruang tersebut menjadi hilang.

Baca juga:  Bupati Badung Larang Aliran Kepercayaan Manfaatkan Fasilitas Adat

Selain mengalami perubahan ruang, permainan rakyat saat ini juga banyak kehilangan peminatnya. Wahyudita kemudian membeberkan beberapa faktor yang mempengaruhi eksistensi permainan rakyat, seperti perubahan sosial dan stigma sosial, perkembangan IPTEK, perubahan sistem pendidikan, minimnya pendidikan kesadaran tentang pentingnya permainan rakyat, minim referensi dan dokumentasi, minim guru atau mentor permainan rakyat, dan kurang publikasi, ruang, fasilitas, dan dukungan dari berbagai pihak serta kurangnya inovasi.

Wahyudita juga memaparkan ada dua payung hukum yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk melindungi keberadaan permainan rakyat di daerah Bali. Undang-undang nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan, serta Peraturan Daerah nomer 4 tahun 2020 tentang penguatan dan pemajuan kebudayaan Bali.

Baca juga:  Layanan Usada Bali Bisa Dicoba saat "Bulan Bahasa Bali 2020"

Namun, payung hukum ini penting diterjemahkan menjadi program nyata dengan melibatkan seluruh pihak, baik pemerintah, pendidikan, swasta, komunitas, dan masyarakat umum penting dilakukan untuk melahirkan program-program perlindungan terhadap permainan rakyat Bali.

Sementara Agung Cahya Prananta mengatakan, sosialisasi olahraga tradisional atau pun permainan rakyat lebih dilakukan mulai dari kabupaten dan kota secara maksimal. Selain itu perlu dilakukan aturan yang baku. Kegiatan ini lebih banyak dilakukan di sekolah, sekaa teruna, mulai tingkat desa, kecacatan hingga kabupaten kota. “Permainan rakyat bisa dikembangkan di daerah pariwisata,” usulnya.

Jangan hanya menampilkan seni tari atau gamelan, permainan rakyat ini juga menarik untuk diperkenalkan kepada wisatawan. “Kalau sudah lestari, permainan rakyat juga bisa ditampilkan dalam ajang pariwisata untuk mendapatkan ekonomi,” ucapnya. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN