DENPASAR, BALIPOST.com – Isu perempuan akan menjadi salah satu isu dalam debat ketiga pemilihan gubernur dan wakil gubernur Bali yang akan digelar, Rabu (20/11). Hingga kini, keterlibatan perempuan terutama di ranah politik masih menghadapi banyak hambatan.
Indikasinya, dalam pilkada serentak, belum ada calon dari kaum perempuan. Sedangkan saat pemilihan legislatif, jumlah keterpilihan perempuan belum mencapai angka 30 persen.
Pengamat Politik dari Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Wayan Rideng, S.H., M.H., mengatakan perempuan sering distigmakan dengan sifat feminin yakni sosok penuh kelembutan, empati, dan kepedulian. Terlebih lagi untuk perempuan Bali, yang identik hanya mengurus urusan rumah tangga, dengan penuh dengan urusan manyama braya dan beryadnya.
“Harus dibuatkan suatu kebijakan afirmasi, untuk mendorong perempuan mendapat fasilitasi tiket berpartisipasi meraih kursi di parlemen, baik di level nasional dan di daerah,’ kata mantan Ketua KPU Buleleng ini.
Rideng juga menyinggung soal budaya masyarakat yang patriakis yang menjadi penghambat utama perempuan. “Perempuan kerap dihadapkan pada stereotip bahwa politik adalah “dunia laki-laki”, sehingga minat dan kepercayaan diri mereka sering kali tereduksi,” ujarnya.
Pendapat Rideng sejalan dengan pandangan Akademisi FISIP Unud, Dr. Kadek Dwita Apriani, S.Sos., M.Si.,. Menurut Dwita, ketika ada perempuan terjun ke ranah politik, pandangan sebagian besar, masih cenderung tidak mendukung. “Perempuan punya banyak beban di ranah privatnya. Seperti mesti ngurus anak, urusan rumah tangga dan banyak tugas lainnya. Hal yang membuat perempuan tidak bisa bertemu lebih leluasa dengan calon pemilih jika menjadi caleg,” katanya.
Dwita juga menyebut kendala datang dari partai politik, dimana secara internal, perempuan sering dimarjinalkan. Tidak dipercaya untuk duduk dalam struktur partai. “Lebih sering dikanalisasi ke dalam sayap-sayap partai khusus urusan perempuan,” katanya.
Rideng dan Dwita sepakat bahwa diskriminasi gender dalam bentuk sikap, pelecehan, hingga ketidaksetaraan dalam peluang promosi jabatan sering kali menjadi kendala bagi perempuan untuk maju dalam dunia politik.
Namun demikian, secara aturan, kesempatan bagi perempuan menurut Dwita dan Rideng sudah cukup baik. Kuota perempuan sebanyak 30 persen untuk calon legislatif misalnya menjadi peluang. “Selama memenuhi persyaratan, perempuan bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Ini merupakan peluan,” kata Dwita.
Politisi PDI Perjuangan, IGA Diah Werdhi Srikandi, WS., mengatakan potensi kader perempuan di partai politik, baik di Bali maupun di Indonesia secara umum cukup besar, meskipun menghadapi berbagai tantangan. Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender, banyak partai politik mulai memberi ruang lebih bagi perempuan untuk berperan lebih aktif, terutama dalam posisi strategis.
Namun, potensi ini masih sering terbatas oleh beberapa faktor struktural dan sosial. Diantaranya, kesadaran dan gerakan afirmasi.
Seiring dengan kebijakan kuota 30% yang mengharuskan partai politik untuk menempatkan perempuan di posisi strategis, ada dorongan untuk meningkatkan jumlah kader perempuan di partai politik. Hal ini memberi perempuan kesempatan lebih besar untuk dilatih, diberdayakan, dan memegang peran penting di dalam partai.
Peningkatan pendidikan dan keterampilan, banyak perempuan kini semakin berpendidikan dan memiliki keterampilan yang relevan untuk berpolitik. Mereka lebih banyak yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi, pengalaman organisasi, dan keterampilan kepemimpinan, yang memperkuat posisi mereka untuk maju dalam karier politik.
Kesempatan dalam Kepemimpinan Partai. Beberapa partai politik di Indonesia, termasuk di Bali, mulai membuka peluang untuk kader perempuan dalam posisi struktural partai. Ini memberi kesempatan bagi perempuan untuk lebih terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan meningkatkan potensi mereka untuk berpolitik.
Untuk itu, pihaknya berharap agar dukungan partai harus lebih berpihak pada kader perempuan, caleg perempuan tidak hanya sebagai pelengkap 30%, tapi agar didukung untuk ‘jadi’, dan pencalonan terhadap caleg perempuan khususnya untuk ke DPR RI harus dipersiapkan secara matang. Tidak bisa mendadak/penugasan secara tiba-tiba, apalagi mengharap Provinsi. ((Ketut Winata/Nyoman Winata/balipost)