Pengunjung menaiki eskalator di pusat perbelanjaan The Kings Shopping Centre, Bandung, Jawa Barat, Selasa (6/8/2024). (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Efek domino yang ditimbulkan karena pemberlakuan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada 2025 menjadi kekhawatiran Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal.

Meskipun kenaikan tarif PPN hanya satu persen, katanya, hal tersebut bisa berdampak terhadap kesejahteraan rakyat.

“Sebenarnya sudah sejak lama saya concern terhadap rencana pemerintah terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen ini. Sejak periode DPR lalu, saya mendorong agar rencana tersebut dikaji ulang,” kata Cucun di Jakarta, dikutip dari Kantor Berita Antara, Selasa (19/11).

Adapun kenaikan PPN 12 persen merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

PPN merupakan pajak yang dikenakan atas setiap transaksi jual beli barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak (PKP).

PPN adalah pajak tidak langsung, yang artinya dibayarkan oleh konsumen kepada penjual, namun kemudian disetorkan oleh penjual kepada kas negara.

Cucun menilai kenaikan PPN 12 persen kontraproduktif dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat kondisi obyektif dari masyarakat dan perekonomian nasional yang saat ini penuh dinamika ketidakpastian.

“Banyak yang akan terkena dampak dari kebijakan kenaikan PPN 12 persen ini, baik bagi masyarakat umum maupun bagi pendapatan perusahaan yang berakibat pada gaji karyawan,” ucapnya.

Menurut Cucun, setidaknya ada tiga alasan mengapa kenaikan PPN pada 2025 perlu dikaji ulang.

Pertama, PPN yang dikenakan pada transaksi jual beli BKP dan JKP memiliki dampak langsung terhadap daya beli masyarakat.

Dengan adanya kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, maka harga barang dan jasa otomatis juga akan terkerek naik.

Baca juga:  MKD DPR Tetap Proses Pelanggaran Novanto

Hal itu berpotensi menurunkan kemampuan masyarakat untuk membeli barang dan jasa. “Khususnya, pada kelompok masyarakat miskin dan rentan, yang memiliki keterbatasan dalam pengeluaran. Saat harga-harga komoditas baik, beban masyarakat kelas bawah ini semakin berat,” jelas Cucun.

Lebih lanjut, Cucun mengatakan PPN merupakan pajak tidak langsung yang mengenakan beban pajak pada konsumen (destinataris).

Dengan kenaikan tarif menjadi 12 persen, beban pajak yang ditanggung oleh konsumen akan semakin besar.

“Kondisi ini akan menurunkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Ini termasuk bagi masyarakat kelas menengah dan pekerja dengan pendapatan setara UMR. Kenaikan tarif PPN akan membuat mereka menahan untuk mengurangi konsumsi domestik,” ujar Cucun.

Padahal, konsumsi domestik berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Cucun menilai peningkatan biaya hidup juga akan semakin memberatkan kelas menengah karena saat ini kelompok tersebut tengah tertekan kondisi ekonomi sehingga tak sedikit yang turun kasta.

“Harus dilihat juga bagaimana tekanan kondisi karena kenaikan PPN tak hanya berdampak pada faktor ekonomi masyarakat, tapi juga dari sisi psikologi dan emosi masyarakat,” terangnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen diperlukan salah satunya untuk menjaga kesehatan APBN.

Meski begitu, Cucun mengingatkan kenaikan tarif PPN juga berpotensi meningkatkan tingkat inflasi.

Cucun lalu menyinggung bagaimana kenaikan PPN yang berdampak positif terhadap penerimaan negara harus dibayar dengan inflasi yang tinggi di tahun 2022. Pada tahun tersebut, inflasi mencapai 5,51 persen.

Baca juga:  Jenasah Pilot pesawat T-50i Golden Eagle Disemayamkan di Skadron Lanud Iswahjudi

Meski kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen bukan satu-satunya faktor penyumbang angka inflasi, namun kebijakan tersebut menjadi salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap kenaikan inflasi. Sebab, peningkatan tarif meningkatkan biaya produksi bagi produsen yang kemudian dapat direspons dengan menaikkan harga jual produk mereka.

“Kenaikan harga produk dan jasa akan langsung memengaruhi indeks harga konsumen (IHK), salah satu indikator inflasi. Tapi masalahnya, kenaikan inflasi tak diikuti dengan kenaikan upah yang signifikan,” kata Cucun.

Alasan kedua mengapa kenaikan PPN 12 persen dikaji adalah karena kondisi perekonomian global yang masih penuh ketidakpastian.

Kenaikan tarif PPN dapat memperlambat pemulihan ekonomi nasional. Pimpinan DPR Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kesra) itu menyatakan biaya produksi bagi pengusaha bakal meningkat dengan adanya kenaikan PPN.

Hal ini dapat mengurangi daya saing di pasar global dan membuat pengusaha enggan untuk berinvestasi atau menciptakan lapangan kerja baru.

Alasan ketiga yakni, terkait beberapa sektor ekonomi yang diprediksi akan sangat terdampak oleh kenaikan PPN antara lain sektor ritel, pariwisata, dan industri.

“Sektor ritel diprediksi akan mengalami penurunan penjualan akibat turunnya daya beli masyarakat. Padahal, industri ritel kita sudah terpuruk beberapa waktu belakangan, lalu akan jatuh seberapa dalam lagi mereka?” ucapnya.

Sementara itu, sektor pariwisata akan mengalami penurunan kunjungan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara karena kenaikan harga tiket pesawat, hotel, dan paket wisata.

Cucun juga menyebut sektor industri turut menghadapi tantangan. Lebih lanjut, Cucun kemudian membandingkan tarif pajak di negara kawasan ASEAN yang bervariasi.

Baca juga:  Yes, Sriwijaya Siap Daratkan 188 Turis Malaysia ke Belitung

Misalnya, Singapura yang tetap menerapkan tarif PPN tujuh persen dan Thailand yang sebelumnya menerapkan 10 persen lalu kemudian menurunkannya menjadi tujuh persen selama pandemi COVID-19 dan tetap dipertahankan hingga 2023.

Di sisi lain, Cucun menilai tarif pajak yang tinggi dapat menurunkan kepatuhan pajak di tengah masyarakat. “Jika tarif PPN terlalu tinggi, ada potensi masyarakat akan mencari cara untuk menghindari atau mengurangi kewajiban pajak. Oleh karena itu, perlu diperhatikan apakah tarif PPN yang diusulkan akan efektif dalam meningkatkan penerimaan pajak atau justru memengaruhi kepatuhan pajak,” imbaunya.

Kekhawatiran adanya efek turunan dari rencana kenaikan PPN 12 persen juga menjadi perhatian banyak ekonom sebab kebijakan tersebut dikeluarkan di tengah daya beli masyarakat yang tengah menurun.

Cucun memahami perubahan kenaikan tarif PPN 12 persen otomatis berlaku pada tanggal 1 Januari 2025 karena merupakan amanat dari UU HPP.

Namun ia menyebut pemerintah sebenarnya memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN berdasarkan Pasal 7 ayat (3) UU HPP yang mana aturan ini menyebut PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.

Oleh karenanya, Cucun menyatakan akan melihat dampak kenaikan PPN 12 persen. Jika berpengaruh signifikan terhadap perekonomian, dirinya akan mendorong revisi tarif PPN kembali di angka 11 persen melalui penerbitan peraturan pemerintah (PP) setelah dilakukan pembahasan dengan DPR.

“Masih ada fleksibilitas perubahan PPN sesuai aturan tersebut. Kalau memang dampak kenaikan PPN tahun depan sangat berdampak besar, kita harus dorong adanya pengurangan,” ujarnya. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN