Pelepasan kirab dan gerak jalan serangkaian napak tilas perjalanan I Gusti Ngurah Rai untuk memperingati Hari Perang Puputan Margarana. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Setiap tahun pada 20 November masyarakat Bali memperingati Hari Perang Puputan Margarana. Tahukah kalian kisah heroik di balik peringatan ini?

Tepatnya, 78 tahun yang lalu, 20 November 1946, sebuah peristiwa pertempuran habis-habis antara rakyat Bali melawan tentara Belanda terjadi di Desa Marga, Tabanan, Bali.

Puputan dalam bahasa Bali memiliki arti menyelesaikan atau berakhir, dan memiliki makna yang sangat dalam pada peristiwa bersejarah ini. Perang ini merupakan perlawanan terakhir dari masyarakat Bali terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Dilansir dari situs what news Indonesia.

Dalam perang ini, pasukan indonesia dipimpin oleh Kolonel Infenteri I Gusti Ngurah Rai bersama dengan pasukannya yang berjumlah kurang dari 100 orang. Pasukan tersebut bertempur melawan Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) angkatan bersenjata milik pemerintahan kolonial Belanda yang saat itu membonceng pasukan sekutu yang ditugasi untuk melucuti senjata tentara Jepang yang kalah perang.

Pada tanggal 2 Maret 1946, pasukan Netherlands Indies Civil and Administration (NICA) dengan kekuatan dua batalyon mendarat di Bali. Setelah mendarat di pantai Sanur, Brigade Y yang dijuluki “Gajah Merah” kemudian menduduki Denpasar. Lalu setelahnya membuat Gianyar, Singaraja, Tabanan, Klungkung, Bangli dan Karangasem jatuh ke tangan NICA.

Baca juga:  Karyawan Distro Ditangkap

Keadaan Bali menjadi tegang dan aman setelah kehadiran tentara NICA, pasukan republik menggunakan strategi perang gerilya sebagai respon dari situasi tersebut.

Untuk menghadapi situasi tersebut, Belanda kemudian menarik tiga kompi pasukan dari Lombok. Selain itu, komandan NICA juga mencoba untuk mempengaruhi Ngurah Rai untuk membelot dengan jaminan harta dan kekuasaan, namun penawaran tersebut ditolak dengan tegas oleh Ngurah Rai.

Dengan adanya peristiwa tersebut, menjadi pemicu meledaknya pertempuran Puputan Margarana. pada tanggal 11 November 1946, Ngurah Rai dan Kapten I Wayan Debes mengadakan pertemuan dengan Wagimin, Komandan Polisi NICA yang memihak Indonesia.

Pada pertemuan itu, disepakati bahwa pasukan akan melakukan penyerangan di Tangsi Polisi Tabanan saat tengah malam tanggal 18 November 1946 guna merampas persenjataan yang disimpan.

Markas Besar Umum (MBU) memerintahkan Staf Cabang II Melati agar mengumpulkan 250 tenaga tambahan untuk menyerang  Tangsi Polisi Tabanan. Lalu terkumpulah 300 Orang dari pasukan Anak Banteng (AB) dan Barisan Banteng (BB) yang bersenjatakan pedang, pentung dan pisau belati.

Baca juga:  Dewan Minta Kejelasan Kelanjutan Pembangunan Dermaga Gunaksa

Pasukan gabungan itulah yang diperintahkan untuk merebut persenjataan di Tangsi, dan kemudian setelah perampasan berhasil, seluruh pasukan berkumpul di sebelah timur Pura Dalem.

Pada malam hari, pasukan tersebut berangkat dari Pura Dalem Basa-Oleh. Rencana perampasan senjata berhasil, pasukan gabungan kembali ke Ole dengan selamat pada pagi hari tanggal 19 November 1946.

Tidak berselang lama pada siang hari, tentara NICA mengepung Desa Tunjuk, yang merupakan desa di sebelah utara desa Marga. Di malam hari, datanglah laporan kepada Ngurah Rai mengenai rencana Belanda yang akan mengepung dua desa yang dilalui pasukan gabungan saat kembali dari penyerangan tangsi, yaitu Desa Adeng dan Pengembungan. Setelah mendengar hal tersebut, Ngurah Rai segera mengumpulkan seluruh anggota pasukan di Marga.

20 November 1946 dini hari, pasukan Ciung Wanara diperintahkan berpindah ke Banjar Kelaci. Sedangkan disisi lain, sejak tanggal 19 November 1946 Belanda mengerahkan pasukan Brigade Y KNIL untuk bergerak ke Desa Marga dan menduduki desa-desa di sekitarnya. Saat pagi hari pada tanggal 20 November 1946, Belanda mulai menurunkan prajuritnya di Desa Marga dan kemudian prajuritnya menangkapi dan menggiring warga Desa ke depan pasar Marga.

Baca juga:  Klarifikasi Masalah Sampah Berserakan di TPB Margarana

Adu tembak antara pasukan Ciung Wanara dan Gajah Merah terjadi pada pukul 08.00 pagi. Serangan dari tentara NICA dimulai dari arah Pura Dalem Sidang Rapuh sedangkan pasukan Ciung Wanara berada di sebelah Timur Pura Dalem Sidang Rapuh.

Kemudian sekitar pukul 10 pagi, mulai terjadi adu tembak antara kedua belah pihak. Belanda mulai terdesak melawan pasukan Indonesia. Melihat situasi tersebut, Belanda kemudian mengerahkan seluruh kekuatan militernya di Bali dan bahkan mendatangkan pesawat pengebom dari Makasar. Maupun dalam keadaan terkepung dan kalah secara jumlah, pasukan Ciung Wanara tidak gentar, mereka menyerukan puputan atau perang penghabisan. Dan pada akhirnya, 86 prajurit ciung wanara termasuk Ngurah Rai gugur dalam pertempuran tersebut. Dilansir dari Ensiklopedia Sejarah Indonesia.

Melansir dari situs Museum Nusantara, Untuk mengenang peristiwa ini, dibangunlah Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa  Margarana di Desa Marga, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Peristiwa tersebut terjadi tepat di depan monumen ini berdiri. Dan hari tersebut diperingati setiap tahunnya dalam Hari Perang Puputan Margarana. (Cahya Dwipayanti/balipost)

BAGIKAN