DENPASAR, BALIPOST.com – Berdasarkan hasil real count internal PDI Perjuangan Bali dari salinan C hasil 6.795 TPS, angka golput di Bali pada Pilkada Serentak 2024 mencapai 1.221.874 suara atau sekitar 37 % dari total daftar pemilih tetap (DPT).
Hanya 63 persen partisipasi pemilih yang menggunakan hak suaranya. Jika dibandingkan dengan Pilkada Bali 2018 yang mencapai 71,96 persen, maka Pilkada Bali 2024 menurun hingga angka sekitar 8,5 persen.
Terkait situasi ini, pengamat politik dari FISIP Universitas Warmadewa (Unwar), Anak Agung Gde Brahmantya Murti, SIP., MPA., menilai menurunnya angka partisipasi masyarakat ini menjadi indikator kinerja KPU serta partai politik, sebagai institusi yang berpengaruh dalam proses demokrasi di Indonesia, dan khususnya di Bali.
Brahmantya mengatakan ada beberapa faktor yang memengaruhi rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada Bali 2024 ini. Pertama, karena pemilih merasa tidak kenal calonnya. Kedua, mereka kenal tapi tidak tertarik pada pasang calon yang bertarung. Dan ketiga adalah sikap politik untuk tidak memilih/golput.
Namun demikian, untuk konteks Bali, poin 2 dan 3 yang lebih menjadi pendorong utama. Poin 2, artinya para paslon tidak mampu untuk menarik swing voters dengan performanya di debat publik ataupun pada saat kampanye melalui berbagai instrumen. Namun, untuk poin 3, yang perlu dibenahi adalah kondisi perpolitikan dan demokrasi di Indonesia. “Bagi saya, cara masyarakat dalam melawan berbagai orkestrasi politik yang tak lagi peduli soal publik, adalah dengan tidak memilih,” ujarnya.
Meskipun situasi ini tidak serta merta dijadikan indikator satu-satunya atau digeneralisir dalam mengukur kualitas demokrasi di Bali, namun pendidikan politik sangat penting dilakukan ke depannya. Apalagi, ke depan akan berhadapan dengan pemilih dari generasi baru, milenial dan generasi Z, yang punya cara pandang dan cara pikirnya sendiri terhadap politik.
Mereka tidak tak tertarik dengan berbagai teori politik dan pergerakan yang terjadi di Indonesia (misal, Reformasi 98) yang itu semua sangat tergantung dengan siapa pemimpimpin kita. “Tapi saat ini saya pun masih belum bisa ketemu kira-kira seperti apa “ramuan” yang pas untuk KPU, juga institusi-institusi lain yang punya peran dalam penegakan demokrasi,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Ngurah Rai Denpasar, Dr. I Gede Wirata, S.Sos., S.H., MAP., mengungkapkan salah satu faktor utama yang sering menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih adalah ketidakpuasan terhadap pilihan kandidat yang tersedia. Jika masyarakat merasa tidak ada kandidat yang benar-benar mewakili aspirasi mereka atau jika calon yang ada dianggap kurang berkualitas atau terlibat dalam berbagai kontroversi, maka hal ini dapat menurunkan tingkat antusiasme pemilih untuk datang ke TPS.
Selain itu, penurunan partisipasi juga dapat disebabkan oleh meningkatnya apatisme politik di kalangan masyarakat. Dalam banyak kasus, ketidakpercayaan terhadap sistem politik dan perasaan bahwa suara individu tidak akan mempengaruhi hasil akhir (voter cynicism) dapat membuat pemilih enggan untuk berpartisipasi. Hal ini bisa dipicu oleh pengalaman buruk pada pilkada sebelumnya atau ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintahan yang ada.
Faktor lainnya yaitu aksesibilitas ke tempat pemungutan suara (TPS) juga bisa menjadi faktor signifikan dalam rendahnya partisipasi, terutama di daerah-daerah yang lebih terpencil atau sulit dijangkau. Meskipun teknologi telah memperbaiki beberapa aspek logistik pemilu, masalah infrastruktur fisik seperti transportasi atau jarak jauh ke TPS tetap menjadi kendala bagi sebagian pemilih, terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan atau wilayah dengan akses terbatas.
Tidak hanya itu, Gede Wirata mengatakan bahwa efektivitas kampanye pemilu juga memainkan peran besar dalam menarik pemilih. Jika informasi tentang pemilu tidak sampai ke seluruh lapisan masyarakat atau jika kampanye dianggap tidak menarik atau tidak relevan dengan kebutuhan warga, maka hal ini dapat menyebabkan menurunnya minat untuk berpartisipasi. Kurangnya sosialisasi atau pengaruh media sosial yang kuat dari calon atau partai politik dapat memperburuk kondisi ini.
Tidak hanya itu, fenomena golput atau golongan putih, di mana pemilih memilih untuk tidak memberikan suara karena merasa tidak ada pilihan yang sesuai dengan nilai-nilai mereka, juga berkontribusi pada rendahnya partisipasi. Jika pilkada dianggap sebagai ajang bagi “politik uang” atau manipulasi, maka sebagian pemilih memilih untuk tidak terlibat sama sekali.
Penyebaran informasi yang tidak akurat atau bahkan berita palsu melalui media sosial dapat memengaruhi persepsi pemilih terhadap kandidat atau proses pilkada itu sendiri. “Jika masyarakat merasa bingung atau terdistorsi oleh informasi yang salah, mereka bisa merasa tidak yakin untuk memilih, yang akhirnya menurunkan tingkat partisipasi,” tandas Gede Wirata. (Ketut Winata/balipost)