Oleh Marjono
Bicara kesenian tentu menyenangkan dan tidak pernah ada habisnya. Kesenian, termasuk kesenian tradisional itu selalu berkembang. Memang semua kesenian tradisional kita itu memiliki pola atau pakem, yang membuat kesenian itu menjadi khas dan berbeda satu sama lain.
Namun demikian, tentu bukan harga mati, melainkan kesenian tradisional itu menjadi suatu potensi yang dapat berkembang. Artinya, kesenian tradisional kita itu bukan tradisi yang mati atau beku, namun tradisi yang hidup (living tradition). Kesenian tradisional harus mampu mengakomodasi ragam perubahan dan perkembangan jaman, tanpa kehilangan kekhasan dan identitas aslinya.
Jadi, di satu sisi kesenian tradisional kita memiliki pakem yang kuat, namun di ujung lain juga memiliki ruang kebebasan yang luwes dan kreatif. Bila keduanya bisa terjalin secara integral, maka kesenian tradisional kita pun dapat tumbuh secara alamiah. Kita harus memahami bahwa seni budaya bisa menjadi alat diplomasi.
Seni budaya menjadi indikasi peradaban bangsa dan masa depan. Inilah identitas jadi diri kita. Maka transformasi penyadaran yang sudah digerakkan oleh pemerintah harus menyentuh pada upaya konkret untuk melestarikan pertunjukkan seni tradisional. Itu kepribadian kita dalam kebudayaan. Itu peradaban dan jati diri bangsa. Hal ini bukan semata-mata tugas dan tanggung-jawab pemerintah saja, tetapi semua komponen bangsa harus terlibat dalam pelestarian seni budaya.
Hemat penulis, di zaman globalisasi ini, pertunjukan seni dan budaya yang menampilkan budaya leluhur sangat relevan, pas banget dalam menggelorakan rasa nasionalisme di kalangan masyarakat, khususnya untuk para generasi muda yang saat ini seakan-akan dijejali dengan budaya-budaya asing.
Dalam era globalisasi, kita bisa berhubungan satu individu dengan individu yang lain dengan mudah dan sangat menguntungkan. Namun, globalisasi ini juga mengakibatkan banyaknya budaya yang masuk dan menyebabkan berbagai masalah di negeri ini, misalnya memudarnya rasa cinta budaya dan nasionalisme generasi muda. Budaya Indonesia bisa hilang termakan zaman karena orang-orang Indonesia lebih suka meniru kebudayaan luar.
Anak muda sebagai penerus bangsa, sebenarnya kita harapkan bisa mempertahankan kelestarian budaya daerahnya masing-masing untuk memperkuat identitas kita sebagai orang Indonesia. Namun, kita merasa hilang harapan saat melihat anak-anak muda yang lebih bangga dengan budaya luar, sekarang anak-anak TK cenderung suka menonton cartoon dan bermain boneka barbie, yang semuanya pengaruh dari budaya luar.
Padahal kunci konservasi budaya terletak pada niat dan semangat anak-anak muda untuk tetap me-lestarikan dan generasi sebelumnya mengajarkan hal-hal yang mereka ketahui tentang budaya, sejarah dan tradisi negara kepada generasi muda.
Maka kemudian, sejak dini orang Indonesia harus rajin mempelajari bahasa daerah, tarian daerah, menonton pertunjukan tradisional atau upacara adat, supaya rasa cinta terhadap budaya tumbuh dan berkembang. Di era global, mengetahui budaya asing memang perlu, agar kita tak ketinggalan jaman atau kudet (kurang update), namun bukan berarti harus me-ninggalkan budaya bangsa.
Itulah mengapa, tugas kita sebagai orangtua, para pegiat seni dan budaya untuk berkreasi mengenalkan ragam budaya Indonesia kepada generasi muda agar mereka bangga dengan candi-candi, kain tenun, tari kecak, tari piring, ketukan kendang, macapat, dan lain-lain. Kita layak mengapresiasi para pegiat seni dan budaya. Bagi penulis, para pelaku maupun perawat seni budaya adalah idola, bahkan pahlawan.
Handarbeni
Tak hanya nguri-nguri budaya, bahkan apa yang para pegiat lestarikan ini bisa memberi daya hidup para pelaku usaha. Tak terhitung, para pelaku UMKM yang intimitas rezekinya dari perhelatan seni dan budaya. Wisatawan banyak yang datang, para pedagang dagangannya laris manis, menuai banyak untung. Maka inilah kemudian yang harus menjadi semangat kita bersama, bahwa seni budaya, benar-benar menjadi kekayaan bangsa kita. Kita menerima budaya apa adanya, tapi jangan membiarkan masa depan budaya bangsa seadanya.
Ini PR besar kita yang harus dicarikan solusinya. Bagaimana masyarakat dan anak-anak muda mampu memiliki rasa handarbeni (memiliki) pada kesenian tradisional kita. Banyak cara yang bisa dilakukan, seperti sering menampilkan kesenian tradisional pada acara-acara formal maupun non formal di masyarakat maupun lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta. Begitu pula penampilannya di berbagai media online maupun offline. Namun syaratnya harus bisa dikemas secara apik sehingga tidak menjadi tontonan yang bikin malu, monoton dan membosankan. Ikuti trend kekinian dengan tidak meninggalkan kekhasan yang ada.
Kemudian di lingkup pendidikan, penulis berharap kesenian tradisional bisa diajarkan kepada anak-anak kita. Lewat mata pelajaran yang disisipkan kandungan muatan-muatan lokal, atau melalui kegiatan ekstra kurikuler. Di luar itu, penting pula memberikan bantuan stimulan pengadaan peralatan seni budaya ke sekolah maupun desa dan sebutan lainnya. Dengan demikian anak-anak kita itu paham, tertarik dan mau berkesenian tradisional.
Penulis, Pendamping Desa Miskin Indonesia Angkatan I