DENPASAR, BALIPOST.com – Kota Denpasar menjadi daerah dengan tingkat partisipasi pemilih terendah pada Pilkada Bali Tahun 2024 ini. Padahal, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) Kota Denpasar terbesar kedua setelah Kabupaten Buleleng, yaitu 507.561 pemilih.
Namun, yang menggunakan hak suaranya untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali hanya 59,55 persen. Bahkan, partisipasi pemilih untuk pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota lebih rendah, yaitu 59,53 persen.
Terkait hal ini, Pengamat Politik dari FISIP Universitas Warmadewa (Unwar), I Putu Hadi Pradnyana, SIP., M.Si., mengatakan, fenomena rendahnya partisipasi pemilih di Kota Denpasar pada Pilkada 2024 bukanlah masalah sederhana. Ini mencerminkan kombinasi dari kurang efektifnya strategi kampanye, lemahnya daya tarik kandidat, apatisme masyarakat urban, dan kurangnya inovasi dalam penyelenggaraan Pilkada.
Oleh karena itu, ke depan KPU Kota Denpasar perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap berbagai aspek penyelenggaraan Pilkada, termasuk efektivitas sosialisasi. Pemanfaatan platform sosial media, seperti Instagram, TikTok, Twitter ini penting untuk menjangkau generasi muda. Konten-konten yang lebih kreatif dan interaktif akan lebih mudah menarik atensi generasi muda.
“KPU Kota Denpasar tidak hanya perlu mengevaluasi kinerja mereka, tetapi juga menginisiasi penelitian mendalam untuk memahami dinamika pemilih lokal. Dengan demikian, kebijakan strategis yang berbasis data dapat dirumuskan untuk meningkatkan partisipasi dalam Pilkada mendatang,” tegasnya.
Hadi mengatakan ada beberapa faktor penyebab rendahnya partisipasi pemilih di Kota Denpasar pada saat Pilkada Bali 2024. Pertama, waktu kampanye yang singkat. Di mana, waktu kampanye yang berdekatan dengan pemilu presiden (Pilpres) menyebabkan 2 pasangan calon (paslon) di Kota Denpasar tidak memiliki cukup waktu untuk memperkenalkan diri, membangun hubungan emosional dengan pemilih, dan mempromosikan program kerja mereka.
Teori Mobilisasi Politik dari Rosenstone & Hansen (1993) menunjukkan bahwa kampanye yang efektif merupakan kunci untuk meningkatkan partisipasi pemilih, terutama bagi segmen masyarakat yang belum memiliki afiliasi politik yang kuat.
Faktor kedua, kurangnya popularitas paslon. Dikatakan, popularitas kandidat yang rendah menunjukkan kegagalan partai politik dalam mengusung figur yang mampu menarik perhatian masyarakat. Paslon petahana adalah nama “lama”. Sementara paslon lawan tidak cukup populer dikenal oleh masyarakat Denpasar. “Menurut pendekatan vote-seeking behavior, kandidat yang populer lebih mampu menggaet pemilih untuk datang ke TPS, karena masyarakat merasa memiliki hubungan representatif dengan kandidat tersebut,” ujar Hadi.
Faktor ketiga, yaitu program yang ditawarkan tidak inovatif. Minimnya daya tarik program yang ditawarkan paslon menimbulkan apatisme, terutama di kalangan pemilih muda. Generasi muda, terutama Milenial dan Gen-Z sebagai kelompok yang sangat kritis, cenderung menginginkan solusi konkret terhadap isu-isu kontemporer, seperti lingkungan, teknologi, dan lapangan kerja. Tawaran program yang inovatif tersebut kurang mampu dikemas dalam proses kampanye yang menarik minat anak muda untuk menaruh atensi.
Faktor keempat, yaitu tingginya mobilitas penduduk urban. Kota Denpasar sebagai wilayah urban memiliki karakteristik populasi dengan mobilitas tinggi. Banyak pemilih kemungkinan tidak hadir di TPS karena bekerja di luar kota atau kurang merasa terikat dengan komunitas lokal. Studi tentang urban apathy menyebutkan bahwa individu yang tinggal di kota besar cenderung memiliki rasa keterlibatan yang rendah terhadap isu-isu lokal. Secara persebaran pemilih di Denpasar, kecamatan Denpasar Barat dan Denpasar menjadi daerah terendah dalam partisipasi pemilih. Dua kecamatan ini memiliki jumlah penduduk pendatang yang lebih banyak dibanding kecamatan lain.
Faktor Kelima, yaitu kurangnya sosialisasi oleh KPU Kota Denpasar. Menurutnya, sosialisasi yang kurang maksimal, terutama kepada kelompok-kelompok tertentu seperti pemilih pemula, lansia, dan kelompok marginal, juga menjadi masalah. Strategi komunikasi yang tidak adaptif terhadap media digital menghambat upaya untuk menjangkau masyarakat, terutama generasi muda yang lebih aktif di platform online.
Faktor lainnya yaitu, fenomena apatisme politik. Penurunan kepercayaan terhadap proses politik dan pemerintah lokal turut berkontribusi pada rendahnya partisipasi. Fenomena political disillusionment menunjukkan bahwa ketika masyarakat merasa suaranya tidak akan membawa perubahan, mereka cenderung memilih untuk tidak berpartisipasi.
Selain itu, pendidikan politik menjadi krusial untuk digencarkan. Bukan hanya oleh KPU, tetapi juga oleh partai politik, LSM, akademisi, media, dan lainnya. Di samping juga pentingnya melakukan penelitian untuk mengidentifikasi akar masalah. “Untuk menemukan solusi yang tepat, perlu dilakukan kajian atau penelitian mendalam tentang akar permasalahan rendahnya partisipasi pemilih di Denpasar,” sarannya.
Pihaknya pun merekomendasikan agar ke depan KPU Kota Denpasar memperpanjang waktu kampanye untuk memberikan kesempatan lebih luas bagi paslon untuk berinteraksi dengan masyarakat. Meningkatkan kualitas sosialisasi dengan memanfaatkan teknologi digital untuk kampanye, seperti media sosial dan aplikasi berbasis lokasi. Untuk partai politik agar mampu menghadirkan Kandidat yang representatif yang relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal. Di samping juga mengembangkan pendidikan politik berkelanjutan di sekolah atau komunitas agar dapat meningkatkan kesadaran jangka panjang terhadap pentingnya partisipasi pemilu. (Ketut Winata/balipost)