Oleh Kadek Suartaya
Api asmara liar Rahwana untuk memperistri Dewi Sita tak terbendung, kendati harus merampoknya dari Rama. Padahal, Kumbakarna dan Wibisana –kedua adik raja Alengka ini–telah mewanti-wanti agar kakaknya tidak mengobarkan permusuhan dengan Rama sang titisan Dewa Wisnu.
Nasihat arif dari para petinggi kerajaan, juga tidak digubris oleh Dasamuka yang adigang adigung, congkak jumawa mendaku memiliki kesaktian tak tertandingi di atas bumi. Adalah patih kepercayaannya, Marica, yang semakin menggedor hasrat Rahwana menculik Dewi Sita–sedang mengembara mengikuti suami tercinta, Rama–di tengah belantara hutan Nandaka.
Sanjungan dan puja-puji dari Patih Marica membuat Rahwana terlena dan mabuk kepayang, bernapsu ingin segera merangkul Dewi Sita ke
pangkuannya. Bagi Marica, benar atau salah bukan urusannya. Sasaran utamanya adalah tetap disayang sebagai patih yang loyal. Demikianlah, Marica termasuk tokoh penjilat yang berandil
menjungkirkan Negeri Alengka pada jurang kemusnahannya, seperti yang dituturkan wiracerita Ramayana.
Bila karangan Walmiki itu memiliki Marica, epos Mahabharata juga mempunyai tokoh penjilat licik-culas. Itulah Sangkuni atau Sekuni. Para penonton pertunjukan teater wayang kulit tentu sudah tidak asing dengan sepak terjang dan intrik-intrik lihai tokoh pihak Korawa ini. Beragam muslihat keji diramunya untuk mencelakai para Pandawa.
Atas tipu daya Sekuni itu, Korawa sempat melenggang sukses merengkuh segala nikmat tahta kekuasaan dan keberlimpahan harta benda. Tentulah, karena itu, posisi Sekuni terjamin nyaman pada lingkaran elit kekuasaan di sisi singgasana Kerajaan Astina yang diduduki Duryadana, keponakannya.
Dikisahkan, bibit-bibit perselisihan para Pandawa dan Korawa yang sudah membiak sejak mereka berusia belia, senantiasa melibatkan
Sekuni sebagai biang keroknya. Bahkan, meletusnya perang saudara hidup mati habis-habisan, Bharatayuda, antara Korasa versus Pandawa di medan Kuruksetra, “disemai” dengan hasutan dan bumbu fitnah Sekuni yang tak pernah jeda menjilat tuannya, para Korawa.
Di Bali, kesenian yang mengisahkan peran tokoh Marica dan Sekuni, selain dituturkan dalam wayang kulit, juga dapat disimak dalam sendratari. Bahkan jilatan Marica pada Rahwana juga sering dapat disaksikan oleh para wisatawan.
Tengoklah pagelaran seni turistik yang salah satunya mempertunjukan Sendratari Ramayana. Salah satu adegannya adalah ketika Rahwana memerintahkan Marica untuk bersiluman menjadi kidang berwarna kuning emas sebagai umpan menggoda Dewi Sita agar terpisah dari Rama. Walau awalnya menolak, tapi demi mengamankan kedudukannya, Patih Marica ber-ABS (Asal Bapak Senang).
Jilat menjilat ala Sekuni pernah menjadi seni tontonan favorit masyarakat Bali di arena Pesta Kesenian Bali (PKB). Sejak Sendratari Mahabharata digelar mulai awal tahun 1980-an, penampilan Sekuni selalu ditunggu-tunggu oleh ribuan penonton yang menyesaki panggung Ardha Candra, Taman Budaya Bali. Anehnya, kendati pun dalam beragam lakon yang melibatkan Sekuni sebagai otak kerusuhan dengan patgulipat tipu-tipunya, tampaknya– hingga pagelarannya sepanjang dua dasa warsa, tahun 2000-an–melalui interpretasi gerak-gerik koreo-visualnya dan juga celetukan-celetukannya yang kocak (diucapkan seorang Dalang)–justru menutupi karakter licin antagonisnya.
Masyarakat yang berkeadaban dengan tatanan moralitas yang terjaga, tentu menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, kebenaran, kejujuran, ketulusan dan seterusnya, dalam prilaku kehidupan dan praktek bermasyarakatnya. Edukasi yang mengandung tuntunan saripati adi luhung, terkandung dalam khasanah warisan kebudayaan masyarakatnya.
Bangsa Eropa dan Amerikamenuturkan hikayat penjilat dalam dongeng “Rubah dan Burung Gagak”. Syahdan, pada suatu hari, burung gagak bertengger ceria di pohon yang tinggi dengan segumpal daging di paruhnya. Rubah yang berada di bawah, sangat tergiur ingin
mendapatkan daging itu. Untuk mendapatkan daging itu, rubah bersiasat. Caranya, ia melontarkan serentetan pujian pada burung gagak.
Sanjungan manis rubah dengan mengatakan bulu gagak berbinar cantik, membuat burung berbulu hitam legam itu berjingkrak girang.
Dalam tataran jagat politik, polah para penjilat bisa ditengarai sebagai politikus busuk. Prilaku pongah politikus serumpun itu, adalah mereka yang tak tabu “menggunting dalam lipatan” yaitu berkhianat secara halus, atau membelit bak “ular berkepala dua” yakni perbuatan munafik, di depan menjadi teman di belakang menjadi lawan.
Menjilat adalah jurus beracunnya, senantiasa berlagak tunduk dan manut-manut. Petualangan politikus berpaham pragmatis-oportunistis yang selalu mencari zona nyaman seperti itu, sejatinya rawan berpetaka, seperti Sekuni menjerumuskan Korawa.
Penulis, Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar