DENPASAR, BALIPOST.com – KPU Bali telah menetapkan pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Bali nomor urut 2, Wayan Koster-I Nyoman Giri Prasta (Koster) sebagai pemenang Pilkada Bali tahun 2024, Minggu (8/12). Paslon Koster-Giri meraih sebanyak 1.413.604 suara (61,46 %). Sedangkan, paslon Mulia-PAS memperoleh sebanyak 886.251 suara (38,54 %).
Untuk menetapkan Koster-Giri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilh periode 2025-2030, KPU Bali menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) jika ada gugatan dari paslon Mulia-PAS. Batas waktu gugatan 3 x 24 jam hari kerja dan hingga Rabu (11/12), Tim Mulia-PAS tidak melakukan gugatan hasil Pilgub Bali 2024 ke MK.
Ketua Tim Pemenangan Mulia-PAS, I Kadek “Rambo” Budi Prasetya didampingi Wakil Komandan Tim Pemenangan Mulia-PAS Kadek Cita Ardana Yudi, mengatakan Mulia-PAS telah legawa menerima hasil penghitungan suara Pilkada khususnya untuk Pilgub. Paslon 01 ini juga tidak akan melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan ke MK maupun ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).
Meski tidak melakukan perlawanan, Tim Mulia-PAS memberikan catatan khusus dalam penyelenggaraan Pilkada 2024. “Terkait dengan hasil penetapan setelah pleno kemarin tingkat provinsi, kami dari Mulia-PAS tidak akan mengajukan gugatan ke MK, karena di awal kami sudah menerima putusan. Namun, kami memberikan catatan yang sangat penting terkait evaluasi bersama dari elemen yang terkait agar Pemilu ke depan berjalan lebih baik,” ujar Rambo dalam siaran persnya, Rabu (11/12) malam.
Ada 5 catatan paslon 01 Mulia-PAS terhadap Pleno hasil rekapitulasi Pilkada Bali 2024.
1. Dalam Pilgub Bali 2024 angka Golput 28,1 persen. Hal ini menunjukkan rendahnya partisipasi pemilih masyarakat Bali sekaligus potret gagalnya penyelenggara pemilu dalam sosialisasi dan edukasi pemilih serta legitimasi pimpinan Bali yang dihasilkan perlu dipertanyakan.
2. Pendistribusian C6 sebagai bentuk undangan pemilih untuk menggunakan hak pilih ke TPS belum terdistribusi secara maksimal, terbukti masih banyaknya pemilih yang tidak mendapatkan C6, sehingga pemilih tidak datang ke TPS. Di samping itu, dalam undangan surat C6 yang ditentukan waktu datang ke TPS sehingga pemilih tidak bisa datang di waktu yang telah ditentukan oleh petugas KPPS.
3. Penyelenggara pemilu kurang optimal dalam sosialisasi, memberikan solusi atau alternatif jika pemilih tidak mendapat C6 dengan berbagai kondisi.
4. Bahwa ada indikasi pembiaran oleh penyelenggara pemilu terhadap intervensi, intimidasi serta ancaman terhadap pemilih oleh oknum aparat desa adat, desa dinas yang menciderai demokrasi. Di beberapa TPS, beberapa petugas menjabat sebagai prajuru adat, kelian adat dan kepala lingkungan, sehingga ada indikasi oleh oknum tersebut memobilisasi pemilih sangat terstruktur, sistematis, dan masif.
5. Bahwa dalam hal menuliskan formulir kejadian khusus atau keberatan yang merupakan hak dari saksi paslon tidak semua dipahami oleh penyelenggara pemilu di lapangan, terbukti dengan tidak mudahnya untuk mendapatkan formulir tersebut, tidak ditandatangani penyelenggaraan pemilu setempat hingga aksi perusakan. (Ketut Winata/balipost)