DENPASAR, BALIPOST.com – Puluhan warga dari kelompok, penyakap, pemilik lama, krama adat dan krama subak yang tergabung dalam Kepet Adat (Kesatuan Penyelamat Tanah Adat) beralamat di Jalan Goa Peteng, Jimbaran, Kuta Selatan, Badung, Jumat (13/12) pagi, menggerudug Kejaksaan Tinggi Bali di Jalan Tantular, Denpasar.
Massa yang dipimpin Wayan Bulat, didampingi Adi Aryanta, S.H., M.H., itu menyampaikan indikasi dugaan tindak pidana korupsi. Perwakilan menyerahkan dokumen yang berkaitan dengan indikasi tersebut.
Bulat menyampaikan kedatangan warga Jimbaran atau penggarap ke Kejati Bali untuk mengantar surat yang ditemukan. “Nah dokumen ini ada indikasi adanya tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Menurut dia, modusnya ada tanah diduga telantar dan diambil oleh dari masyarakat petani. Terkait modus, kata dia, menyalahi izin yang dikuasai dari pemerintah. Luas tanah dimaksud mencapai 45 hektare. “Kita ke sini (Kejati Bali) hanya memberikan informasi saja. Nah soal pealaku, kan kejati punya tugas,” jelasnya.
Sementara Adi Aryanta menambahkan, dari dokumen lampiran yang diserahkan ada semacam SK dari presiden untuk menunjuk panitia dalam penyelenggaraan semacam konferensi mulitilateral yang diikuti oleh banyak negara. “Di situ ada tim, dan salah satunya ada salah satu menteri. Kemudian berdasarkan SK menteri itulah ada semacam penugasan untuk mengadakan lahan dan fasilitas konferensi. Di dalam dokumen itu ada semacam SK dari BPN bahwa tanah tersebut sebenarnya sudah terlantar. Akan tetapi diserahkan ke PT, padahal di SK disebutkan bahwa tanah itu sudah terlantar,” jelas Adi Aryanta.
Lanjut dia, seharusnya dikembalikan ke pemilik semula. “Ini juga masih dalam perdebatan, ada bilang tanah negara ada bilang tanah adat, luasnya sekitar 280 hektare,” ucap Adi Aryanta di Kejati Bali.
Lantas, dimana unsur indikasi dugaan korupsinya? Karena ini telantar, menurut pendapatnya dikembalikan dulu ke pemilik hak lama. Ia menilai ada unsur pidana disitu, yakni pidana korupsi. Sehingga memilih membawa indikasi ini ke Kejati Bali. “Di situ juga ada SK yang dibuat oleh penyelenggara negara, ada juga bahasa pengadaan lahan dan sarana prasarana. Jadi kalau pengadaan berarti ada anggaran negara,” jelasnya.
Kasipenkum Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana, yang turut menerima perwakilan massa menjelaskan, massa dari Kesatuan Penyelamat Tanah Adat itu diterima dengan baik, karena pada dasarnya semua yang membawa aspirasi tentunya terkait kewenangan kejaksaan. Mereka membawa dokumen yang kemudian akan ditelaah oleh pihak Kejati Bali.
“Sesuai dengan kewenangan kejaksaan, informasi itu akan kami tindaklanjuti. Soal dokumen kita akan telaah, detailnya soal peralihan tanah, yang katanya ada tanah adat,” jelasnya.
Eka menjelaskan pihaknya akan menganalisis apakah ada bukti permulaan yang cukup atau mungkin ada tindak pidana lain, dalam laporan yang disampaikan masyarakat tersebut. “Setiap aduan dari masyarakat tetap kami tindak lanjuti,” tandas Eka.
Untuk menjaga atau mengawal massa yang berjumlah sekitar 50 hingga 60 orang itu, ada sekitar 200 polisi yang dikerahkan lengkap dengan mobil rantis, Brimob, Samapta serta polisi berpakaian preman. Hingga akhir aksi, situasi aman dan perwakilan massa diterima pihak Kejati Bali. (Miasa/balipost)