Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Tuhan Maha Bijaksana, menciptakan struktur kehidupan makhluk berdasarkan hierarkhi kodratnya. Dimulai terciptanya makhluk jenis tumbuh-tumbuhan (pepohonan), memiliki eka pramana, hanya dibekali unsur “bayu” (bertumbuh) yang secara ritual dihargai keberadaannya melalui upacara Tumpek Bubuh/Tumpek Wariga, dengan Dewa Sangkara sebagai ista dewatanya.

Lanjut diciptakan segala jenis makhluk hewan/binatang dilengkapi
dwi pramana yaitu “bayu” (bergerak) dan “sabda” (bersuara), yang juga diupacarai melalui ritual Tumpek Uye/Tumpek Kandang, dengan Dewa Pasupati sebagai dewa pujaan atau disebut juga Sanghyang Rare Angon, pengembala semesta alam termasuk hewan.

Setelah tumbuhan dan hewan tercipta, baru kemudian makhluk
manusia dilahirkan, dengan kelengkapan  “bayu”, “sabda” dan “idep” (pikiran). Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin manusia bisa eksis
berkehidupan meski dilengkapi modal pikiran jika tanpa terlebih dahulu dipersiapkan bahan konsumsinya dari unsur nabati dan hewani.

Istilahnya, disiapkan dulu makanannya, baru manusia bisa tumbuh
berkembang menjalani kodrat kehidupan. Jadi, secara alami
manusia sangat tergantung kehidupannya dari unsur tumbuhan dan hewan.

Baca juga:  Program Komunitas Petani

Kelebihan pikiran (idep) manusia yang awalnya hanya berpikir memanfaatkan unsur alam dengan segala sumber daya hayatinya sebatas pemenuhan kebutuhan mendasar, dalam perkembangan kekinian, seiring kecanggihan hasil produk pikiran, mulailah watak
ahamkara (ego) manusia unjuk diri.

Diantaranya terjadi deforestasi lewat aksi eksplorasi dan eksploitasi secara terstruktur, sistemik dan masif. Terutama dilakukan korporasi yang melibatkan hasrat kalangan pengusaha (swasta) dan dukungan penguasa (pemerintah) lewat regulasi, semisal memberikan hak konsesi pemanfaatan lahan hutan konservasi untuk kepentingan industri.

Dari sini timbul konflik, tidak saja antarpengusaha dan pemerintah dengan rakyat penghuni kawasan hutan dimaksud, tetapi lebih parah lagi rusak dan terusirnya habitat hewan sehingga terputusnya ekosistem dan rantai makanan yang seharusnya saling menghidupi simbiosis mutualisme.

Manusia tidak akan sanggup melangsungkan kehidupannya tanpa keberadaan makhluk lain (tumbuhan dan hewan) sebagai bagian dari konsumsi biologis. Tak salah jika dikatakan manusia secara kodrati sejatinya makhluk lemah tak berdaya. Keberlangsungan hidupnya sangat tergantung pada keberadaan makhluk hidup lainnya.

Baca juga:  Instansi Vertikal di Bali Ikut Rayakan Tumpek Uye

Tanpa asupan nutrisi, gizi dan energi dari makhluk hidup lain, manusia tak akan mampu berdikari — berdiri di atas kakinya sendiri. Beda dengan makhluk tumbuhan, tanpa kehadiran manusia justru gerak bertumbuhnya secara alami semakin berkembang, apalagi tanpa gangguan atau pengrusakan tangan usil bin jahil manusia. Hewan pun demikian, semakin eksis dengan satu sama lain saling memangsa demi keberlangungan siklus kehidupannya.

Melalui momentum rerainan suci Tumpek Kandang yang diperingati setiap enam bulan pada Saniscara Kliwon wuku Uye ini umat Hindu diingatkan, untuk tidak hanya memberikan penghargaan dan penghormatan kepada makhluk hewan dengan cara ritual yang
bersifat material semata, tetapi lebih dari itu merealisasikan simbol dan makna luhurnya melalui aksi nyata merawat, memelihara dan melestarikan segala jenis hewan.

Terlebih yang sangat diperlukan dalam prosesi upacaya yadnya tertentu, seperti ketika pelaksanaan tawur agung atau saat mulang pakelem (di danau, samudra, gunung). Pada titik ini, manusia berutang kehidupan pada makhluk hidup lainnya.

Baca juga:  Kenapa Harus PPKM Lagi?

Hindu adalah agama kosmis, selalu memotivasi dan menginspirasi umatnya agar memiliki kesadaran kosmik, antara lain dengan cara mengasihi dan mencintai setiap makhluk ciptaan Tuhan. Terlebih jika dirunut posisi hierarkhi secara vertikal, jenis makhluk tumbuhan itu tiada lain sebagai “kakek-nenek”, sedangkan hewan itu sendiri selaku “ayah-ibu” dari segenap manusia. Oleh karenanya, sebagaimana tersurat dalam teks Sarasamuscaya menyatakan: ayuwa tan masih ring sarwa prani, apan prani ngaran prana: jangan tidak sayang kepada semua makhluk, karena setiap makhluk, termasuk hewan merupakan kekuatan alam.

Penggalan doa puja Tri Sandhya juga menyebutkan sarvaprani hitangkarah — hendaknya semua makhluk dapat hidup sejahtera.

Amanat kitab suci Yajurweda, XVI. 48 pun menegaskan “berbuatlah agar semua orang, binatang-binatang dan semua makhluk hidup berbahagia. Hanya dengan begitu keberadaan semua makhluk hidup bisa ajeg saling menghidupi.

Penulis, Dosen Fak. Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN