Eni Indriani. (BP/Istimewa)

Oleh Eni Indriani

Headline berita terbaru menyebutkan bahwa banyak perusahaan mengalami kesulitan keuangan yang bermuara pada pengurangan karyawan, yang terbaru adalah berita tentang Perusahaan tekstil raksasa, Sri Rejeki atau Sritex, dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang.

Di tengah transformasi dunia kerja, banyak perusahaan yang melakukan pemangkasan terhadap pekerja muda, dan generasi (Gen) Z menjadi salah satu kelompok yang akan paling merasakan dampaknya. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran akan keberlanjutan dari generasi ini ke depannya.

Berbagai stimulus juga ikut mendorong angka kecemasan ini semakin tinggi, seperti situasi politik dan keamanan dunia yang sedang tidak
stabil, serta yang paling krusial adalah penerimaan dari pengusaha atas kinerja dari Gen Z yang akan memberikan reputasi buruk di dunia
kerja. Berbagai survei yang telah dilakukan oleh berbagai Lembaga menyebutkan bahwa dari semua generasi, Gen Z adalah yang paling tidak bisa diandalkan.

Dari segi attitude mereka dianggap memiliki perangai yang tidak sesuai dengan ekspektasi dunia kerja, kurang profesional, kurang bisa bekerja dalam tim, tidak mampu menghadapi tekanan dunia kerja, kurang memiliki motivasi dalam bekerja, memiliki inisiatif yang rendah, kemampuan komunikasi yang buruk, dan daya juang yang tidak seperti generasi pendahulunya.

Baca juga:  Pandemi COVID-19, Generasi Milenial Pilih Bertani Sayur Organik

Namun, sebelum memberi judgement lebih jauh tentang kinerja generasi ini, kita perlu meninjau kembali karakteristik Gen Z ini, yang
merupakan generasi yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, dan pada tahun 2024 rentang usia Gen Z adalah dari 11 hingga 26 tahun. Generasi ini juga dikenal sebagai “digital natives” atau generasi pertama yang tumbuh dengan Internet sebagai bagian dari kehidupan
sehari-hari, Gen Z memiliki gaya dan preferensi yang khas.

Kekhasan ini disebabkan kombinasi unik dari pengalaman atas paparan teknologi, perubahan iklim global, kemampuan bertahan dari krisis Covid-19, dan lanskap keuangan yang tidak pasti pada usia yang sangat muda. Gen Z lahir dari orangtua yang tumbuh pada era generasi X yang memiliki kecenderungan telah mapan secara ekonomi, yang tentu saja memengaruhi pola asuh terhadap generasi berikutnya.

Hidup di Tengah kemapanan ekonomi tentu saja menyebabkan Gen Z mendapatkan berbagai kemudahan akses kehidupan. Inilah yang disinyalir menjadi penyebab Gen Z memiliki daya juang yang tidak sama dengan pendahulunya. Gen Z sangat concern terhadap fleksibilitas dalam gaya kerja dan mengedepankan kolaborasi melalui komunikasi digital, dimana ini tentu saja tidak sejalan dengan para pemilik usaha (pengusaha) yang rata-rata merupakan generasi yang tumbuh tidak sepenuhnya dalam era teknologi tinggi.

Baca juga:  Kedatangan Prabowo Disambut Baik Australia, Bahas Keberlanjutan Kerjasama

Seperti generasi baby boomer, yang tumbuh ketika awal mula teknologi informasi diciptakan. Paparan teknologi yang berbeda ini memicu kedua generasi menghadapi kesenjangan dalam pola kerja, pola komunikasi, dan pola bertahan dalam industri dan dunia kerja.

Generasi baru memiliki kesadaran yang tinggi akan prinsip “Work life Balance”, oleh karena itu mereka memiliki preferensi dan ekspektasi terhadap bidang pekerjaan yang lebih bebas dari segi pengaturan waktu dan pemaknaan serta tujuan ekonomi. Mereka cenderung memilih jalur instan, dan inilah yang mendorong pergeseran dalam
semua aspek bekerja dari model tradisional ke basis bekerja dalam konteks “internet of things”.

Kehidupan sehari-hari dapat dijadikan sebagai konten yang menghasilkan “cuan”. Influencer menjadi profesi yang paling diidamkan oleh Gen Z karena memberikan hasil yang relatif tinggi dengan jam kerja yang lebih fleksibel. Salah satu dampak lanjutan dari pesatnya perkembangan industri ini adalah pengguna dapat mengalami “information overload” apabila tidak mampu menyaring informasi sesuai kebutuhan.

Baca juga:  Bali Perlu "Backpackers"

Oleh karena itu berbagai pihak perlu mempersiapkan langkah antisipasi yang dapat mengancam keberlanjutan generasi penerus ini.
Pendidikan mulai dari Tingkat dasar, menengah, dan tinggi perlu duduk bersama, untuk merancang suatu sistem Pendidikan yang mendorong peserta didik tidak hanya mengedepankan pola berfikir kritis, namun juga perlu menguatkan pondasi budaya dan tata nilai
kemasyarakatan, mengembangkan pola didik dengan komunikasi yang menjunjung pemaknaan lintas generasi, menerapkan kekayaan
budaya dan kearifan lokal dalam keseharian.

Pasca pelantikan pemimpin baru negeri ini, tentu saja kita berharap banyak akan masa depan yang lebih baik. Terutama terciptanya
suatu sistem yang mapan dan dapat melindungi seluruh generasi, yang menjamin keberlanjutan di segala aspek kehidupan.

Penulis, Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Akuntansi, FEB Universitas Udayana, Angkatan 4

BAGIKAN