Oleh Ir. I Wayan Sukarsa, M.M.A.
Sektor Pertanian di Bali tidak bisa terlepas dari keberadaan lembaga subak, dalam sistem tata kelola irigasi, secara merata ke seluruh sawah-sawah dari sumber mata air, sungai atau danau. Sistem subak telah didahului dengan keberadaan sistem pertanian, telah berkembang sejak tahun 678 (Wardha, 1989;Arfian, 1989).
Dalam Prasasti Raja Purana (Tahun 994 Saka/1072 Masehi), terdapat kata “kasuwakara” yang diduga berasal dari kata “suwak“, berkembang menjadi “subak“, dalam bentuk farmer managed irrigation system (FMIS), dipimpin oleh seorang Pakaseh (Pakaser) memiliki hak otonom dalam pengaturan air berdasarkan sewinih sesuai pranata mangsa. Pranata Mangsa berarti “ketentuan musim” untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan, berdasarkan peredaran matahari setahun memuat berbagai aspek fenologi dan gejala alam, pada usaha tani mulai persiapan dan menghadapi bencana sampai dengan panen.
Dikutip dari buku “Pranata Mangsa karya Sindhunata”, ada 12 mangsa dengan sistem penanggalan berbeda-beda berdasarkan karakter alam sebagai petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh petani pada saat ingin pertanaman, menanggapi berbagai macam perubahan yang terjadi di alam antara lain 1. Kasa (Kartika) Ketiga – Terang 22 Juni – 1 Agustus (41 hari) Sesotya murca ing embanan mulai menanam palawija. 2. Karo (Pusa) Ketiga – Paceklik 2 Agustus – 24 Agustus (23 hari) Bantala rengka (“bumi merekah”). 3. Katelu (Manggasri) Ketiga-Semplah 25 Agustus – 18 September (24 hari) Suta manut ing bapa palawija mulai dipanen. 4. Kapat (Sitra) Labuh-Semplah 19 September–13 Oktober (25 hari) Waspa kumembeng jroning kalbu (“Air mata menggenang dalam kalbu”; mata air mulai menggenang) panen palawija, saat menggarap lahan untuk padi gogo. 5. Kalima (Manggakala) Labuh-Semplah 14 Oktober–9 November (27 hari) Pancuran mas sumawur ing jagad (“Pancuran emas menyirami dunia”) mulai menyebar padi gogo. 6. Kanem (Naya) Labuh-Udan 10 November – 22 Desember (43 hari) rasa mulya kasuciyan para petani menyebar benih padi di pembenihan. 7. Kapitu (Palguna) Rendheng-Udan 23 Desember – 3 Februari (43 hari) Wisa kentir ing maruta (“Racun hanyut bersama angin”; banyak penyakit); Saat memindahkan bibit padi ke sawah. 8. Kawolu (Wisaka) Rendheng-Pangarep-arep 4 Februari–28/29 Februari (26/27 hari) Anjrah jroning kayun (“Keluarnya isi hati”; musim kucing kawin) padi menghijau; uret mulai bermunculan di permukaan. 9. Kasanga (Jita) Rendheng-Pangarep-arep 1 Maret – 25 Maret (25 hari) Wedharing wacana mulya padi berbunga. 10. Kasepuluh (Srawana) Mareng-Pangarep-arep 26 Mar–18 Apr (24 hari) Gedhong mineb jroning kalbu (“Gedung terperangkap dalam kalbu”; Padi mulai menguning. 11. Desta (Padrawana) Mareng-Panen 19 April–11 Mei (23 hari) Sesotya sinarawedi (“Intan yang bersinar mulia”) Saat panen raya genjah (panen untuk tanaman berumur pendek). 12. Sada (Asuji) Mareng – Terang 12 Mei–21 Juni (41 hari) Tirta sah saking sasana (“Air meninggalkan rumahnya”; Saatnya menanam palawija.
Coward (1980) dan Sutawan (2008) menyebutkan fungsi subak (i) distribusi air irigasi; (ii) pemeliharaa saluran irigasi; (iii) pengerahan sumber daya; (iv) conflict solution;dan (v) kegiatan ritual pada tingkat petani. Pelaksanaan Kerta Mangsa yang dilandasi falsafah Tri Hita Karana sebagai pengajawantahan tiga hubungan yang harmonis dengan berbagai aktivitas ritual setiap tahapan aktivitas yang membedakan antara sistem irigasi yang lain. Musim (mangsa) penanaman sesuai kearifan lokal (Kerthamase) yang berkonsep pada Dharma Pemaculan, menekankan pelaksanaan upacara. Upacara pada tingkat subak (pada pura subak), dan pada pura-pura berkaitan dengan sumber air irigasi pada dasarnya memohon kepada Tuhan YME untuk mencapai Kerta masa.
Mengendurnya fungsi subak di bidang tata guna air berpedoman pada pranata mangsa, Dharma Pemaculan dan pelaksanaan upacara mulai terasa sejak timbulnya kebijakan revolusi hijau, merupakan bentuk perubahan dengan munculnya varietas padi baru dan mekanisasi pada sektor pertanian. Sudah saatnya buku lama atau falsafah terdahulu dibuka kembali, gali berbagai macam kearifan lokal dalam sistem budidaya dan kembali menerapkan berbagai macam lokal wisdom masyarakat desa yang terbungkus apik dalam kesederhanaan dan kesahajaan pranata mangsa perlu dilakukan sebuah upaya melalui pengembangan pariwisata berbasis pertanian (agrowisata) dalam perspektif agroculture menjadi model pengembangan pariwisata yang memiliki keterkaitan erat antara pertanian dan pariwisata.
Tentunya dengan memanfaatkan aktivitas pertanian yang diikuti berbagai pelaksanaan upacara mulai membajak, menanam padi dan memanen sebagai objek wisata, daya Tarik wisata dan atraksi wisata dengan tidak mengesampingkan tanggung jawab sebagai penyedia pangan, kelestarian alam dan budaya agraris sehingga adagium kuno “Negara gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja, murah sandang murah pangan”.
Seperti dikisahkan dalam kitab Arjunawiwaha majunya sektor pangan menjadi salah satu pilar penopang jayanya kerajaan Majapahit berprinsip pada ilmu Titen Niteni atau mengamati setiap tanda “tanda kejadian alam yang berlangsung untuk menentukan mangsa, kembali digaungkan, diaplikasikan dan dikemas menjadi destinasi wisata edukasi dengan sistem agrobisnis untuk meningkatkan nilai tambah, kesejahteraan petani, menghidupkan budaya agraris dan menjaga kelestaian alam Bali.
Penulis, Analis Kebijakan pada Bidang Riset, Inovasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Badan Riset dan Inovasi Kabupaten Badung.