Oleh Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M.
Melemahnya nilai tukar rupiah yang hampir menyentuh Rp16.100 per dolar pada minggu ketiga Desember ini, menjadikan rupiah sebagai salah satu mata uang terlemah di Asia. Pelemahan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat, arus modal keluar dari negara berkembang, serta ketidakpastian ekonomi global.
Namun, yang menjadi perhatian utama adalah dampaknya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 serta prediksi pertumbuhan ekonomi nasional, termasuk Bali sebagai destinasi pariwisata andalan Indonesia.
Pada APBN 2025, asumsi nilai tukar rupiah yang ditetapkan sebesar Rp15.200 per dolar AS kini terlihat semakin tidak realistis. Dengan melemahnya rupiah hingga mendekati Rp16.100, pengeluaran pemerintah berpotensi membengkak, terutama untuk pos belanja yang berbasis valuta asing. Salah satu dampak terbesar akan dirasakan pada subsidi energi.
Pemerintah Indonesia mengimpor sebagian besar kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dari luar negeri. Dengan nilai tukar yang lemah, biaya impor energi akan melonjak signifikan, sehingga memperbesar beban subsidi. Situasi ini berisiko mempersempit ruang fiskal, mengingat APBN harus menanggung tambahan beban belanja subsidi tanpa diiringi peningkatan penerimaan yang memadai.
Selain subsidi, pelemahan rupiah juga memengaruhi pembayaran utang luar negeri. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, lebih dari 30% utang pemerintah Indonesia berbasis mata uang asing. Kenaikan kurs dolar otomatis meningkatkan nominal pembayaran bunga dan cicilan utang, yang pada akhirnya membebani APBN. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah mungkin harus mengalokasikan ulang anggaran atau menunda beberapa proyek strategis yang sebelumnya telah direncanakan.
Dampak pelemahan rupiah juga akan terasa pada proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional. Bank Indonesia sebelumnya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2025 di kisaran 5,0–5,3%. Namun, pelemahan rupiah dapat menekan aktivitas ekonomi, terutama pada sektor yang bergantung pada impor, seperti manufaktur dan konsumsi barang-barang elektronik. Biaya produksi yang meningkat akibat bahan baku impor yang mahal berpotensi menaikkan harga barang jadi, sehingga menurunkan daya beli masyarakat.
Di sisi lain, pelemahan rupiah dapat memberikan keuntungan pada sektor ekspor, khususnya bagi industri berbasis sumber daya alam seperti kelapa sawit, batu bara, dan produk perikanan. Namun, peningkatan ekspor ini mungkin tidak cukup untuk menutup defisit perdagangan yang disebabkan oleh impor bahan bakar dan barang modal yang lebih mahal.
Bagi Bali, dampak pelemahan rupiah ini memiliki sisi positif dan negatif. Di satu sisi, nilai tukar yang lemah menjadikan Bali lebih menarik bagi wisatawan mancanegara, karena biaya liburan menjadi relatif lebih murah dalam mata uang mereka. Hal ini dapat meningkatkan kunjungan wisatawan asing, yang menjadi tulang punggung ekonomi Bali.
Namun, di sisi lain, sektor pariwisata juga akan terpengaruh oleh kenaikan biaya operasional. Hotel, restoran, dan operator wisata yang mengimpor bahan baku atau peralatan dari luar negeri akan menghadapi kenaikan biaya, yang dapat mengurangi margin keuntungan mereka.
Selain itu, pelemahan rupiah dapat memengaruhi konsumsi domestik di Bali, yang sangat bergantung pada wisatawan lokal. Harga tiket pesawat, transportasi, dan akomodasi yang lebih mahal akibat kenaikan harga BBM dapat menurunkan minat wisatawan domestik untuk berlibur ke Bali. Hal ini dapat mengurangi kontribusi sektor pariwisata terhadap pertumbuhan ekonomi Bali.
Secara keseluruhan, pelemahan rupiah hingga mendekati Rp16.100 memberikan tantangan besar bagi stabilitas APBN 2025 dan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk Bali.
Pemerintah harus mengambil langkah strategis, seperti meningkatkan efisiensi belanja, mempercepat realisasi investasi asing, dan memperkuat industri dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Tanpa langkah yang tegas, risiko perlambatan ekonomi akan semakin nyata, mengancam keberlanjutan pemulihan ekonomi yang baru saja dimulai pascapandemi.
Penulis, Dekan Fakultas Ekonomi & Bisnis (FEB) Undiknas Denpasar