DENPASAR, BALIPOST.com – Tahun 2024 segera berakhir. Setahun terakhir, banyak tantangan yang dihadapi ekonomi Bali. Faktor eksternal dan internal cukup menyita dan memperlambat akselerasi pertumbuhan ekonomi Bali. Di 2025, kondisi ini pun diprediksi berlanjut, mengingat adanya pergantian pemerintahan dan kebijakan baru yang menambah berat beban masyarakat, seperti kenaikan PPN menjadi 12 persen, opsen pajak kendaraan, dan situasi internasional yang dipastikan berubah dengan kembali terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden AS. Lalu bagaimana prediksi para ekonom dan pelaku ekonomi Bali terhadap kondisi di 2025?
Tahun 2025 diproyeksi akan menjadi tahun kebangkitan UMKM karena dari histori data tahun 2024 penyaluran kredit ke UMKM di Balinus tumbuh 7 persen yoy. Namun kebijakan pemerintah terkait PPN 12 persen, menjadi ganjalan bagi UMKM.
Kepala OJK Provinsi Bali, Kristrianti Puji Rahayu mengatakan, dari portofolio penyaluran kredit di Balinus sebesar 44,47 persen kredit di Balinus disalurkan ke UMKM. “Tingginya penyaluran kredit perbankan kepada UMKM menunjukkan bahwa perbakan terus mendukung UMKM menjalankan peran vitalnya dalam menciptakan lapangan kerja dan menjaga daya beli masyarakat,” ujarnya.
Hingga November 2024, Bank BPD Bali menyalurkan kredit ke UMKM sebesar Rp11,62 triliun. Angka ini tumbuh 13,60 persen. Sementara porsi kredit UMKM BPD Bali mencapai lebih dari 50 persen yaitu 51,08 persen dari total penyaluran kredit.
Direktur Utama Bank BPD Bali, I Nyoman Sudharma mengatakan, melihat posisi kinerja tahun 2024, ia menargetkan pertumbuhan kredit 9 persen tahun 2025. Jika melihat pertumbuhan kredit secara nasional per Oktober 2024 yang tumbuh 10,92 persen, namun porsi kredit korporasi sangat besar yaitu 96 persen, sedangkan porsi kredit UMKM 4 persen.
Tahun 2025, ia fokus menyalurkan kredit untuk UMKM. Optimisme penyaluran kredit ke UMKM dapat lebih baik dari 2024 lantaran ada beberapa kebijakan baru pemerintah yang dinilai akan mendorong sektor UMKM.
Salah satunya adalah program makam bergizi gratis (MBG) yang diharapkan dapat digarap oleh UMKM dan BUMdes yang ada di setiap desa. Dengan demikian, ekonomi kerakyatan termasuk pertanian dapat tumbuh.
Selain itu, target pertumbuhan ekonomi nasional 8 persen juga dinilai akan mendorong tumbuhnya klaster-klaster pertanian, dan klaster ekonomi baru. Apalagi UMKM adalah salah satu dari 6 pilar ekonomi kerthi Bali yang akan difokuskan ke depan bagi pemberdayaan ekonomi di Bali.
Selain itu, berdasarkan data hasil Sensus Ekonomi (SE) 2016, BPS Bali mencatat jumlah pekerja yang mampu diserap oleh usaha kategori UMK hampir mencapai 1,1 juta orang. Dengan total jumlah pekerja non pertanian sebanyak 1,5 juta maka dapat dikatakan bahwa UMK telah menyerap hampir 3 per 4 tenaga kerja nonpertanian, tepatnya sebesar 74,44 persen.
Sebaran penyerapan tenaga kerja UMK di masing-masing kabupaten/kota juga terbilang merata. Eksistensi UMK bagi penyerapan naker juga terlihat dari hubungan antara tingkat pengangguran terbuka (TPT) dengan rasio UMK per 100 penduduk.
Semakin tinggi rasio UMK per 100 penduduk, TPT cenderung semakin rendah. Dengan demikian dapat dikatakan jika jumlah UMK per penduduk meningkat, maka TPT cenderung menurun. Kontribusi UMK yang besar ini, nyatanya harus terganjal dengan PPN 12 persen tahun depan.
Dekan FEB Undiknas Denpasar Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M., mengatakan, UMKM tahun depan menghadapi tantangan besar. Kenaikan harga akibat PPN yang lebih tinggi membuat daya saing produk UMKM menurun dibandingkan dengan produk sejenis yang diproduksi secara massal oleh perusahaan besar. Dalam jangka panjang, ini berpotensi mengancam keberlangsungan bisnis kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Di sisi lain, pemerintah meyakini bahwa kenaikan PPN adalah langkah strategis untuk mendukung pembiayaan pembangunan dan pelayanan publik. Namun, efektivitas kebijakan ini masih perlu dikaji lebih jauh, terutama dalam konteks menjaga keseimbangan antara penerimaan negara dan stabilitas daya beli masyarakat.
Kenaikan PPN 12 persen menjadi pengingat pentingnya kebijakan fiskal yang inklusif dan berkeadilan. Pemerintah perlu memastikan bahwa dampak kenaikan pajak ini dapat diminimalkan melalui program bantuan sosial yang tepat sasaran. Di tengah situasi ini, masyarakat juga dituntut untuk lebih cermat dalam mengelola pengeluaran dan mencari solusi untuk tetap memenuhi kebutuhan tanpa memberatkan kondisi keuangan.
“Intinya, kenaikan PPN memang menjadi tantangan yang harys dihadapi bersama terutama UMKM. Namun, dengan pendekatan yang terencana dan koordinasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, dampak negatifnya dapat ditekan sehingga tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Berbagai persoalan yang diprediksi dihadapi Bali tahun depan ini harus disikapi pemerintahan baru yang kemungkinan dilantik pada Maret 2025. Jika tidak, proyeksi yang sudah dicanangkan bisa gagal terlaksana. (Citta Maya/balipost)