DENPASAR, BALIPOST.com – Pada 2025, ekonomi Bali diprediksi tumbuh 5 – 5,8 persen dengan penopang utama adalah pariwisata. Namun, pariwisata akan berjalan berbeda arah dengan harapan masyarakat Bali.
Deputi Kepala BI KPw Bali, GA. Diah Utari menyampaikan, triwulan III 2024 tumbuh 5,43 persen, lebih tinggi dari triwulan sebelumnya dan rata-rata lebih tinggi dari perekonomian nasional yang tumbuh 4,95. Pada 2024 diprediksi ekonomi Bali tumbuh 5,1-5,9 persen.
Pertumbuhan ekonomi Bali masih ditopang sektor terkait pariwisata yaitu sektor akomodasi makan dan minum (akmamin ) yang tumbuh 12,25 persen.
Meski pertumbuhan pariwisata penopang ekonomi Bali terus belanjut, namun ada sejumlah tantangan yang perlu diwaspadai yaitu ketergantungan ekonomi Bali pada sektor pariwisata sangat besar. Ketimpangan antara Sarbagita dan non Sarbagita, dan perkembangan digitalisasi terutama sistem pembayaran berkembang pesat namun belum diiringi tingkat literasi yang baik.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali mulai menginjak angka jutaan sejak 1994 dengan jumlah 1.030.944. Sebelum tahun itu, kunjungan wisatawan ke Bali per tahun hanya berkisar ratusan ribu. Puncak kunjungan wisatawan mancanegara tertinggi tahun 2019 yang angkanya mencapai 6.275.210.
Dengan tingginya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali, minat investasi juga semakin bertumbuh. Terlihat dari data BPS Bali, tahun 2022 penanaman modal asing di Bali mencapai Rp6,4 triliun dan tahun 2023 naik menjadi Rp11,9 triliun, naik dua kali lipat. Semetara tahun 2009, penanaman modal asing hanya Rp2 triliun. Investasi tersebut terfokus di Badung terlihat dari data nilai penanaman modal asing di Badung lebih tinggi dari kabupaten/kita lainnya secara berturut-turut setiap tahunnya.
Pengamat pariwisata I Made Sulasa Jaya mengatakan, perkembangan pariwisata Bali sangat mengkhawatirkan. Terjadi perubahan pariwisata yang sangat signifikan, terlihat dari jumlah kunjungan. Kedatangan wisman ke Bali tahun 2019 berjumlah 6,2 jutaan sedangkan sampai September 2024 jumlah kunjungan 4,7 juta. Meski jumlah kunjungan belum pulih namun dampak kemacetan lalu lintas sangat terasa.
Selain itu, dulu kedatangan wisman kebanyakan bergrup sedangkan saat ini kebanyakan sendiri-sendiri. Salah satu penyumbang perubahan itu adalah kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah sangat berpengaruh terhadap perubahan pariwisata Bali, termasuk permasalahan yang terjadi di Bali saat ini. “Kebijakan visa mempengaruhi lama tinggal salah satunya untuk memfasilitasi pekerja asing sebagai insentif atas paket investasi asing di Indonesia,” ujarnya.
Namun, perubahan yang terjadi tidak diantisipasi dengan kebijakan untuk mengantisipasinya. Keadaan ini jika dibiarkan, menurutnya bukan hanya wisatawan yang menjadi tidak nyaman, tapi masyarakat lokal pun akan merasa tidak nyaman.
Sementara Ketua PHRI Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati mengatakan, ke depan ia yakin pariwisata Bali tetap eksis dan meningkat seiring berwisata telah menjadi tren bagi masyarakat global. Meski di AS, Donald Trump berkuasa dengan kebijakan proteksionisme, namun menurutnya belum terpengaruh terhadap pariwisata Bali termasuk kebijakan pemerintahan baru juga belum ada berpengaruh terhadap pariwisata Bali. Kecuali, jika nanti diterapkan pembatasan perjalanan dinas kementerian/lembaga yang akan mempengaruhi wisata MICE Bali.
“Cuma yang menjadi persoalan adalah apakah pariwisata budaya masih bisa kita pertahankan ke depan ataukah beralih ke konsep pariwisata yang lain karena sekarang kita harus mengikuti keinginan pasar,” ujarnya.
Jika penjelasan budaya dan aktvitas budaya semakin berkurang kualitasnya, wisatawan yang datang ke Bali tidak melihat budaya lagi ke Bali namun melihat atraksi-atraksi buatan. “Jika itu menjadi tujuan wisatawan ke Bali, maka ke depannya inilah yang akan tumbuh di Bali. Ketika tumbuh di Bali, tantangan kita ke depan adalah tradisi, budaya Bali kita akan semakin terpinggirkan,” tandasnya.
Yang terjadi adalah masyarakat Bali tetap sibuk menjalankan ritual, budaya dan alam Bali sedangkan pelaku usaha yang notabene pelaku usaha pariwisata sibuk menjalankan nalurinya menjadi pengusaha dan mencari keuntungan. (Citta Maya/balipost)