DENPASAR, BALIPOST.com – Perang darat dan udara. Tagline ini menjadi pendekatan politik dalam pilkada termasuk dalam Pileg dan Pilpres 2024. Perang udara bahkan terlihat makin masif jika kita cermati media sosial belakangan ini. Beragam isu pilitik mencuat di dunia maya.
Namun, kepastian dan keberpihakan pemilih nyata terlihat dalam potret simakrama. Jika kampanye politik di dunia maya, massa pemilih tak pasti. Sebaliknya simakrama, perang darat di basis masa menjamin kemenangan. Ini bahkan dihitung secara matrik lebih awal.
Mencermati hal ini Ketua KPU Bali I Dewa Agung Gede Lidartawan mengatakan arus digital pada hari ini menjadi kendaraan penting untuk mendulang suara pemilih. Untuk itu, pihaknya mengusulkan agar penyelenggara Pemilu ke depannya mendapatkan pelatihan teknis penggunaan teknologi sejenis kecerdasan buatan (AI).
Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Bali, Ketut Ariyani juga mengatakan bahwa proses pengawasan pelaksanaan pemilihan peran media sosial juga tidak boleh mengesampingkan. Di mana, media sosial yang dapat dijadikan sarana bagi pasangan calon dalam melaksanakan aktivitas politiknya.
“Proses kontestasi politik hari ini, secara regulasi mungkin tidak berbeda jauh dengan sebelumnya. Namun, yang menarik di sini adalah peran media sosial sebagai sarana aktivitas politik. Kami di Bawaslu memang ada pengawasan siber guna mencegah terjadinya pelanggaran di ranah digital, namun ke depannya, aktivitas politik di media sosial perlu diatensi lebih,” tandas Ariyani.
Dikatakan Lidartawan, pada Pemilu 2024 pemilih dari kalangan generasi milenial dan generasi Z dengan rentang usia dari 20 tahun sampai 44 tahun mendominasi dengan persentase mencapai 55 persen sampai 60 persen. Generasi milenial tumbuh beriringan dengan perkembangan teknologi.
Adapun generasi Z tumbuh pada masa internet berkembang pesat. Kedua kalangan generasi itu juga memiliki kesamaan preferensi tentang inovasi dan gagasan meski tidak sepenuhnya persis. Penggunaan teknologi untuk menyebarkan gagasan, pandangan, maupun visi menjadi akrab di kalangan generasi milenial maupun generasi Z.
Sehingga, jangan heran jika nanti akan ada pemimpin yang menang dengan memanfaatkan teknologi AI dan teknologi lainnya dalam proses-proses Pemilu. “Kami selaku penyelenggaran juga harus beradaptasi karena generasi milenial dan generasi Z lebih interest dengan sajian digital, bukan lagi kampanye konvensional,” ujar Lidartawan.
Ariyani mengungkapkan, penyebaran konten bermuatan politik, termasuk politik SARA, dan hoaks sepertinya tidak dapat dibendung dengan kemajuan teknologi digital sekarang. Jikalau penyebaran konten SARA dan hoaks dibiarkan, hal itu dapat mendegradasi kepercayaan publik terhadap proses elektoral dan juga mendegradasi elektabilitas pasangan calon.
Apalagi, media sosial hari ini bisa dikatakan menjadi ruang utama bagi pasangan calon untuk menyampaikan visi misi mereka. Di sisi lain, platform ini juga rentan terhadap penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye hitam. “Untuk itu, hal ini perlu diantisipasi. Harus ada teknis dan regulasi tegas di pemilu dan pemilihan ke depan untuk menyikapi fenomena ini, bukan hanya sebagai takedown,” ujarnya. (Ketut Winata/balipost)