Saya tidak setuju jika ada yang mengatakan “orang Bali tidak punya ‘𝙗𝙪𝙨𝙞𝙣𝙚𝙨𝙨 𝙨𝙚𝙣𝙨𝙚’”. Saya kadang tersinggung jika ada yang menyebut “orang Bali tidak punya talenta bisnis!”
Saya akan setuju jika dikatakan orang Bali memiliki ‘𝙠𝙚𝙡𝙚𝙢𝙖𝙝𝙖𝙣 𝙣𝙪𝙢𝙚𝙧𝙖𝙨𝙞’.
Apakah yang dimaksud dengan ‘𝙠𝙚𝙡𝙚𝙢𝙖𝙝𝙖𝙣 𝙣𝙪𝙢𝙚𝙧𝙖𝙨𝙞’?
Secara umum pengertian ‘𝙠𝙚𝙢𝙖𝙢𝙥𝙪𝙖𝙣 𝙣𝙪𝙢𝙚𝙧𝙖𝙨𝙞’ adalah 𝙠𝙚𝙢𝙖𝙢𝙥𝙪𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙢𝙖𝙝𝙖𝙢𝙞 𝙙𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙜𝙪𝙣𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙖𝙣𝙜𝙠𝙖 𝙙𝙖𝙣 𝙨𝙞𝙢𝙗𝙤𝙡-𝙨𝙞𝙢𝙗𝙤𝙡 𝙩𝙚𝙧𝙠𝙖𝙞𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙢𝙖𝙩𝙚𝙢𝙖𝙩𝙞𝙠𝙖 𝙙𝙖𝙨𝙖𝙧 𝙙𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣𝙖𝙡𝙞𝙨𝙞𝙨 𝙞𝙣𝙛𝙤𝙧𝙢𝙖𝙨𝙞 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙞𝙩𝙖𝙢𝙥𝙞𝙡𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙗𝙚𝙧𝙗𝙖𝙜𝙖𝙞 𝙗𝙚𝙣𝙩𝙪𝙠 (𝙜𝙧𝙖𝙛𝙞𝙠, 𝙩𝙖𝙗𝙚𝙡, 𝙗𝙖𝙜𝙖𝙣, 𝙡𝙖𝙥𝙤𝙧𝙖𝙣 𝙚𝙠𝙤𝙣𝙤𝙢𝙞, 𝙥𝙚𝙧𝙚𝙣𝙘𝙖𝙣𝙖𝙖𝙣 𝙖𝙣𝙜𝙜𝙖𝙧𝙖𝙣, 𝙙𝙖𝙣 𝙡𝙖𝙞𝙣 𝙨𝙚𝙗𝙖𝙜𝙖𝙞𝙣𝙮𝙖). 𝙆𝙚𝙢𝙖𝙢𝙥𝙪𝙖𝙣 ‘𝙣𝙪𝙢𝙚𝙧𝙖𝙨𝙞’ 𝙨𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙙𝙞𝙥𝙚𝙧𝙡𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙚𝙘𝙖𝙝𝙠𝙖𝙣 𝙢𝙖𝙨𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙥𝙧𝙖𝙠𝙩𝙞𝙨 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙗𝙚𝙧𝙗𝙖𝙜𝙖𝙞 𝙢𝙖𝙘𝙖𝙢 𝙠𝙤𝙣𝙩𝙚𝙠𝙨 𝙠𝙚𝙝𝙞𝙙𝙪𝙥𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙝𝙖𝙧𝙞-𝙝𝙖𝙧𝙞. 𝘽𝙖𝙞𝙠 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙖𝙢𝙗𝙞𝙡 𝙠𝙚𝙗𝙞𝙟𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙚𝙠𝙤𝙣𝙤𝙢𝙞 𝙠𝙚𝙡𝙪𝙖𝙧𝙜𝙖, 𝙖𝙣𝙜𝙜𝙖𝙧𝙖𝙣 𝙤𝙧𝙜𝙖𝙣𝙞𝙨𝙖𝙨𝙞 𝙙𝙚𝙨𝙖, 𝙠𝙤𝙥𝙚𝙧𝙖𝙨𝙞 𝙨𝙚𝙧𝙩𝙖 𝙠𝙚𝙡𝙤𝙢𝙥𝙤𝙠-𝙠𝙚𝙡𝙤𝙢𝙥𝙤𝙠 𝙚𝙠𝙤𝙣𝙤𝙢𝙞 𝙥𝙚𝙙𝙚𝙨𝙖𝙖𝙣, 𝙙𝙨𝙗.𝙣𝙮𝙖.
Kelemahan orang Bali secara umum dalam ‘numerasi’ berimplikasi serius pada lemahnya posisi tawar dan daya saing masyarakat Bali dalam persaingan ekonomi dibandingkan para pendatang luar pulau atau luar negeri yang datang ke Bali untuk mengembangkan bisnis.
𝐊𝐚𝐬𝐮𝐬-𝐤𝐚𝐬𝐮𝐬 ‘𝐤𝐞𝐥𝐞𝐦𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐧𝐮𝐦𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢’ 𝐝𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢
Jro X punya tanah pinggir jalan luar kota. Tanahnya tersebut dikontrakkan jangka panjang belasan tahun pada Mas Bakso dan Cak Sate. Belasan tahun kemudian saya mendengar kabar tanah itu sudah alihnama jadi milik Mas Bakso dan Cak Sate. Kenapa Jro X tidak mengelola asetnya sendiri padahal ia tidak kurang modal? Padahal ada anaknya sarjana yang menganggur tinggal tanpa kerjaaan di desanya? Pernah dulu terdengar celetukan lebih gampang dikontrakkan, tinggal terima duit.
Pan Anu menyewakan rukonya di kawasan wisata dengan masa sewa 35 tahun kepada orang asing. Katanya berkilah agar tidak ribet mengelola bisnis sendiri.
Pan Gonjreng memilih mengontrakkan villanya di tepi sungai dengan hamparan sawah indah selama 25 tahun dibandingkan mencoba mengelola sendiri. Padahal villanya demikian digemari orang asing. Alasannya: Kami tidak mau repot.
Alhasil, baru saja dipakai 5 tahun ruko Pan Anu dialihkontrakkan orang Perancis yang menyewa 35 tahun itu. Harga over-kontrak sisa 30 tahun itu berlipat-lipat. Melihat keuntungan berlipat-lipat orang Perancis itu, keluarga Pan Anu keberatan rukonya dialihkontrakkan. Bikin ulah. Padahal jelas-jelas ada perjanjian dalam surat perjanjian kontraknya bahwa ruko sewaan itu boleh dialihkontrakkan kembali oleh pengontrak.
Orang asing yang mengontrak villa Pan Gonjreng, sehari setelah tanda tangan kontrak 25 tahun, langsung renovasi villa Pang Gonjreng. Dalam hitungan bulan villa Pan Gonjreng sudah muncul di booking [dot] com, Airbnb, dan berbagai aplikasi marketing online lainnya, atas nama orang Rusia dan diiklankan dengan ‘branding baru’ dalam berbagai bahasa.
Saya tidak setuju dikatakan akar permasalahan Pan Anu dan Pan Gonjreng adalah kendala modal. Mereka punya modal. Saya juga tidak setuju mereka dicap tidak punya ‘business sense’. Yang saya pahami: Keluarga Pan Anu dan keluarga Pan Gonjreng punya ‘kelemahan numerasi’.
Jro X, Pan Anu dan Pan Gonjreng adalah representasi bagaimana secara umum orang Bali punya kelemahan dalam ‘numerasi’.
Segelintir orang Bali yang ‘melek numerasi’ ada. Contohnya Men Seni. Ia ikut mengontrak dua ruko jangka panjang di Seminyak dengan waktu kontrak panjang 25 tahun. Mirip beda dengan si bule Rusia dan si bule Perancis, Men Seni baru saja dipakai 3 tahun ruko itu dialihkontrakkan ke pihak lain dengan berlipat-lipat harga.
Sosok seperti Men Seni di Bali bisa dihitung dengan jari. Ia lahir tidak berlatar belakang pemilik tanah atau bukan berasal dari keluarga pemilik tanah kawasan wisata. Tapi ia berkemampuan numerasi. Ini membuatnya bisa berhitung pinjaman bunga bank, cermat menghitung pertumbuhan harga kontrakan pertahun di kawasan Seminyak, Canggu, Pererenan, Ubud dan sekitarnya.
Menurut pengamatan saya, Men Seni memiliki ‘business sense’ rata-rata. Ia menjadi pebisnis bukan karena ia jauh lebih unggul atau punya talenta luar biasa di atas rata-rata perempuan Bali lainnya. Ia menjadi punya percaya diri karena ia ‘melek numerasi’.
𝐆𝐮𝐛𝐞𝐫𝐧𝐮𝐫 𝐌𝐚𝐭𝐞𝐦𝐚𝐭𝐢𝐤𝐚
Jro X, Pan Anu dan Pan Gonjreng mewakili wajah masyarakat Bali secara umum.
Orang Bali dimana-mana sekarang berkeluh kesah sama: “Desa saya diserbu orang asing dan warga luar pulau. Mereka datang berbisnis, mengambil-alih lahan strategis dan bahkan peluang di desa saya!”.
Menilik banyaknya kasus seperti ini terjadi seantero Bali, telah berulang berpuluh tahun seperti ini, tidakkah sadar bahwa kelemahan orang Bali yang harus segera dientaskan adalah rendahnya kemampuan numerasi orang Bali?
Salah satu strategi untuk menjawab serbuan bangsa asing dalam mengambil-alih tanah Bali adalah Gubernur Bali dan para bupati wajib memimpin turun tangan melakukan advokasi dan pendampingan di akar rumput untuk meningkatkan kemampuan atau skill numerasi ekonomi dan tata kelola desa masyarakat Bali.
Kebetulan Gubernur Bali terpilih (𝐃𝐫. 𝐈 𝐖𝐚𝐲𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐬𝐭𝐞𝐫) adalah lulusan 𝐈𝐓𝐁 𝐣𝐮𝐫𝐮𝐬𝐚𝐧 𝐦𝐚𝐭𝐞𝐦𝐚𝐭𝐢𝐤𝐚, maka saya berharap jika selama 5 tahun kepemimpinannya kedepan membuat program pelatihan dan advokasi untuk peningkatan skill numerasi di Bali. Ini perlu dirancang secara sistematis di desa-desa wisata atau pedesaan yang punya potensi “dimakan” jaringan Rusia, Perancis, Australia, Amerika, dan berbagai bangsa asing lainnya, serta jaringan permaklaran bangsa sendiri.
Melek numerasi dijamin akan membantu masyarakat Bali tidak hanya sebatas menjadi “𝙠𝙚𝙗𝙤 𝙢𝙚𝙗𝙖𝙡𝙞𝙝 𝙜𝙤𝙣𝙜”, sebatas menjadi penonton di tengah persaingan global dan serbuan investasi asing di Bali.
Program-programn Gubernur Bali dan para bupati perlu sensitif dan sudah semestinya menyadari bahwa kelemahan orang Bali dalam numerasi mendesak untuk dientaskan. Harus ada peningkatan dan pelatihan numerasi bisnis dan turunannya, bagi kalangan anak-anak muda penjaga masa depan Bali. Para perempuan dan ibu-ibu yang punya kemampuan numerasi (atau dalam istilah pedesaan: ‘kemampuan pembukuan’ atau ‘mengerti neraca ekonomi’) akan bisa mengambil peran atau terlibat mengambil peluang bisnis pedesaan, baik yang terkait langsung dengan bisnis kepariwisataan, seperti oleh-oleh, jajanan, warung, dll, atau bisnis kecil-kecilan menjadi peternak ayam petelor, pembuat canang, penanam sayuran, cabe, dsb.nya. Dengan bekal ‘melek numerasi’ maka minimal mereka akan survive.
𝐏𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐬𝐢 𝐛𝐮𝐭𝐚 𝐧𝐮𝐦𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢
Saya mengikuti sebagian besar debat terbuka calon bupati-bupati se-Bali, dan juga debat calon gubernur Bali pilkada lalu. Dari pengamatan itu saya mengambil kesimpulan cepat: Kelemahan numerasi politisi Bali bisa dikatakan parah. Tentu kesimpulan ini saya berani ambil dengan menambahkan pengamatan saya terhadap lemahnya numerasi anggota dewan di kabupaten dan provinsi. Banyak saya kenal pribadi kemampuan numerasinya meragukan.
Sama sekali tidak untuk memuji, mungkin karena terasah di jurusan matematika ITB, gubernur terpilih I Wayan Koster punya skill numerasi mengesankan. Para calon lainnya, baik wakilnya atau calon bupati lainnya, kemampuan penguasaan numerasi data ekonomi, kepariwisataan, kependudukan, retribusi parkir, pajak daerah, dll, dalam presentasi berbagai grafik, tabel, bagan, dan lain sebagainya, tercermin lemah ketika berdebat. Bahkan ada beberapa kandidat menyampaikan data yang kesalahannya fatal. Bisa dikatakan ngawur, asal bunyi.
Secara umum, tercermin dari debat pilkada lalu, ada masalah besar soal numerasi di kalangan politisi Bali — jangan tanyakan kemampuan literasi kalangan ini. Dapat dipastikan akan (dan sudah) berdampak pada ketidakmampuan anggota dewan dalam menghitung secara cermat anggaran atau penyusunan ranperda anggaran. Kebijakan politik berbasis anggaran memerlukan kemampuan anggota dewan dan para bupati serta politisi lainnya agar kebijakannya tepat secara numerasi. Politisi yang dapat menyusun kebijakan tetap sasaran adalah politisi yang pondasi kemampuan numerasi dan literasi kokoh.
𝐑𝐨𝐛𝐨𝐡𝐧𝐲𝐚 𝐁𝐚𝐥𝐞 𝐏𝐞𝐬𝐚𝐧𝐝𝐞𝐤𝐚𝐧
Di tingkat desa, kasus robohnya Balai Pesandekan di Banjar Pengiasan, Desa Mengwi, Kecamatan Mengwi, adalah sebuah menjadi contoh kasus parahnya kemampuan numerasi.
Menjelang di-plaspas (disucikan dan diresmikan sesuai agama Hindu Bali) pada Selasa, 24 Desember 2024, siang hari bangunan tersebut roboh. Rata tanah. Kerobohon ini adalah cermin kecerobohan alias kelemahan numerasi pihak tukang atau pemborong. Mereka tidak mampu menghitung secara numerasi berat beban atap dan kekuatan struktur tiang.
Diberitakan Balai Pesandekan itu adalah bagian dari proyek fantastis bernilai Rp11.000.000.000,- satu paket dengan proyek penyosohan gabah, balai subak, dan pengolahan sampah organik. Dua pekerja mengalami luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit. Bagaimana uang miliaran bisa tepat sasaran jika menghitung beban atap saja kerubuhan berat beban atap?
Warga sosmed banyak yang mempertanyakan jika robohnya Balai Pesandekan itu kemungkinan karena ada indikasi budgetnya ditilep ‘bererong’? Saya tidak berkomentar soal tilep-menilep anggaran ini, tapi jelas robohnya bangunan ini adalah bukti keparahan numerasi. Tukang kayu di Bali sering kali talenta estetiknya tinggi tapi berhitung struktur sangat ceroboh. Jika saja cerdas atau punya skill numerasi, mencari untung bisa pasti ada jalan, dan tentu tidak dengan mengurangi spek kemampuan tiang dan struktur bangunan.
Demikian juga dengan banyaknya aparat desa yang sudah ditangkep atau sudah dilaporkan (menjelang pilkada) terkait penyalahgunaan anggaran. Mereka umumnya lemah dalam numerasi. Sampai-sampai berani secara mencolok mata besaran angkanya melenyap dari catatan kas desa yang dipegangnya. Jika saja lebih baik skill numerasi mereka, pasti mereka tidak akan sampai bertindak atau terjebak sekonyol itu dalam mengelola keuangan desanya.
𝑷𝒂𝒌𝒓𝒂𝒎𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒍𝒆𝒌 𝒏𝒖𝒎𝒆𝒓𝒂𝒔𝒊
Saya telah berjumpa dengan beberapa prajuru desa pakraman yang melek numerasi, mereka sangat hati-hati dalam mengelola kas desanya. Katanya mereka tidak mau korup atau ‘berjiwa receh’ karena itu tidak mencerminkan ‘kebajikan manusia Bali’.
Secara umum saya pun mengamati beberapa organisasi pedesaan di Bali yang berprestasi dalam pengelolaan sampah, mengelola koperasi, wisata desa, dan LPD. Kuncinya adalah ada sosok atau tokoh desa di desa-desa itu yang punya kemampuan numerasi terlibat dalam pengelolaan organisasi desa-desa tersebut. Ini berlaku sebaliknya: Jika ada banyak desa atau organisasi pedesaan gagal merana, maka umumnya disebabkan oleh pemimpin atau administrasinya dipegang oleh warga ‘lemah numerasi’.
Berdasarkan ‘selayang pandang’ cepat di atas, saya percaya Gubernur Bali terpilih — yang berlatar lulusan jurusan matematika ITB — secara sensitif membaca kelemahan orang Bali ini untuk dientaskan. Bali perlu serius secara sinambung membuat program peningkatan numerasi di pedesaan.
Desa Pakraman tidak ada jaminan akan menjadi maju dengan makin besarnya kucuran dana dari usulan/kebijakan gubernur atau bupati. Jika skill numerasi pengurus desa pakraman tidak ditingkatkan, akan berakibat pada kebocoran, munculnya korupsi, dan kebijakan salah sasaran, atau penyelewengan penggangaran yang sulit dikendalikan secara verbal. Ini soal skill berhitung secara bijak dalam menyusun anggaran pedesaan agar tepat sasaran.
Sudah menjadi keluhan umum di Bali terjadi banyak penganggaran salah sasaran. Jika hal ini kembali terjadi dalam 5 tahun ke depan, maka akan sia-sia penganggaran desa pakraman yang ditingkatkan besarannya. Sudah menjadi keluhan umum bahwa hal-hal yang urgent tidak dibiayai, hal-hal yang tidak mendesak dijatah dianggarkan berlebihan. Bermiliar bansos digelontor. Tetap kemampuan SDM desa jalan di tempat.
Sepanjang gelontoran dana desa dan bansos dikucurkan ke pembangunann fisik belaka, dan peningkatan SDM desa tidak mendapat porsi anggaran yang tepat, tidak mendapat pendampingan yang memadai, maka desa pakraman di Bali akan jalan di tempat. Pelatihan ini tentu perlu dikawal dengan akses permodalan. Jika tidak, warga pakraman berpotensi akan mengkerut menjadi “𝒌𝒆𝒃𝒐 𝒎𝒆𝒃𝒂𝒍𝒊𝒉 𝒈𝒐𝒏𝒈”.
Mari secara cepat bercermin dari pengelolaan Pura Besakih dan Pura Tanah Lot — dua kawasan ini terhitung berlimpah income dibandingkan kawasan Bali lainnya. Di kedua kawasan berlimpah income pun tidak sepi dari terpaan polemik, ada apa? Saya berusaha mengikuti isu dan persoalan yang mengemukan di dua kawasan ini. Kesimpulan saya adalah ada varibel ketakbecusan dalam numerasi di kedua kawasan ini. Besakih sudah mulai berbenah, Tanah Lot masih entahlah. Jadi, di kawasan ini, bukan isu kurangnya income yang menghambat. Tapi berlimpahnya income pun punya potensi masalah tersendiri jika ada ‘𝒌𝒆𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌𝒃𝒆𝒄𝒖𝒔𝒂𝒏 𝒏𝒖𝒎𝒆𝒓𝒂𝒔𝒊’.
𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐤𝐮𝐢 𝐤𝐞𝐛𝐮𝐭𝐚𝐚𝐧 𝐧𝐮𝐦𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢
Jro X, Pan Anu, Pan Gonjreng, politisi-politisi lemah data, robohnya balai pesandekan di Mengwi, pengelola kas desa masuk penjara, LPD bangkrut, koperasi mangkrak, dstnya, adalah segelintir bukti-bukti bagaimana orang Bali banyak punya KELEMAHAN NUMERASI yang mendesak perlu ditingkatkan.
Kasus-kasus atau contoh lainnya yang serupa bisa saya tambahkan. Bisa saya tunjuk hidung menyebut oknum-oknum yang saya tulis di atas. Tapi di atas saya rasa telah cukup memberi contoh.
Cukup rasanya contoh di atas untuk mengakui bahwa bisnis di kawasan pariwisata Bali yang terbaik dikuasai orang luar Bali atau orang asing, tidak lain dan tidak bukan karena memang orang Bali punya kelemahan numerasi.
Cukup rasanya mengakui bahkan dulu di era 𝐏𝐫𝐨𝐟 𝐌𝐚𝐧𝐭𝐫𝐚 menjabat Gubernur Bali muncul dan berkembang 𝐋𝐏𝐃 (𝐋𝐞𝐦𝐛𝐚𝐠𝐚 𝐏𝐞𝐫𝐤𝐫𝐞𝐝𝐢𝐭𝐚𝐧 𝐃𝐞𝐬𝐚) di Bali karena ada pelatihan dan peningkatan skill numerasi pengelolaan keuangan desa-desa dipimpin dan dimonitor langsung oleh Prof Mantra selaku gubernur. Selanjutnya, berbalik. Seiring bergantinya gubernur dari Prof Mantra ke pengganti berikutnya, LPD banyak “merana terkena hama”, salah satu sebab utamanya adalah karena tidak lagi serius didampingi secara numerasi. LPD bangkrut dan terancam punah di banyak desa.
Cukup rasanya contoh di atas dijadikan sebagai cerminan bahwa ketidaktepat sasaran penganggaran di level desa pakraman sampai di kabupaten, diakui sebagai salah satu variabel penyebabnya adalah pemimpin di Bali masih lemah numerasi. Tidak punya data valid dalam membuat kebijakan. Tidak presisi dalam menghitung potensi desa. Potensi ekonomi dan data lingkungan tidak secara serius terpetakan di berbagai desa di Bali. Ini perlu keterampilan numerasi dalam membuat peta, merapikan agar gampang dibaca. Situasi ini tidak lain menjadi akar penyebab terjadi pembiaran masyarakat Bali tetap tidak bertumbuh daya daya saingnya. Masyarakat Bali umumnya sebatas berkeluh kesah seperti “𝙠𝙚𝙗𝙤 𝙢𝙚𝙗𝙖𝙡𝙞𝙝 𝙜𝙤𝙣𝙜” dalam melihat arus gempuran investasi asing di Bali.
Cukup rasanya diakui jika 𝐛𝐚𝐧𝐬𝐨𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐨𝐫-𝐣𝐨𝐫𝐚𝐧 𝐥𝐢𝐧𝐭𝐚𝐬 𝐤𝐚𝐛𝐮𝐩𝐚𝐭𝐞𝐧 yang dielu-elukan pun berujung sebatas menjadi bangunan pasif, tidak secara efektif berfungsi membantu masyarakat dalam pembiayaan untuk pelatihan skill atau workshop dalam meningkatan daya saing SDM secara ekonomis dan edukatif, padahal hal ini yang justru mendesak perlu dientaskan di tengah pergaulan dan investasi internasional yang sudah merangsek masuk ke pelosok pedesaan di seantero Bali.
Gubernur Bali terpilih sekarang adalah 𝐆𝐮𝐛𝐞𝐫𝐧𝐮𝐫 𝐌𝐚𝐭𝐞𝐦𝐚𝐭𝐢𝐤𝐚. Saya menitipkan salah satu kelemahan orang Bali dalam hal numerasi ini untuk dientaskan melalui program-program yang strategis dan sinambung. Seperti misalnya workshop “untung-rugi mengontrakkan aset pemda”, “strategi pengelolaan aset pakraman yang sinambung”, “pengembangan keterampilan pengelolaan keuangan pakraman dan keluarga”, dstnya. Saya meyakini peningkatan kemampuan numerasi bagi krama Bali, khususnya untuk kalangan anak-anak muda Bali, akan sangat membantu dalam menjaga masa depan tanah Bali. *