Oleh Kadek Suartaya
Erang garang Ni Calonarang–si janda sakti Dirah–belakangan, berkumandang hampir setiap malam di penjuru Bali. Tengoklah sepanjang bulan November-Desember ini, tak ada tengah malam hingga menjelang pagi yang kosong tanpa euforia penampilan Dramatari Calon Arang.
Bahkan terdapat pada tanggal malam yang sama, pementasannya berlangsung serentak di tiga-empat lokasi. Tanggal 21 November misalnya–seperti dapat dipantau dari media sosial—sajian salah satu teater Bali yang oleh peneliti asing disebut sebagai drama of magic ini, berlangsung di Ubud, Ketewel, Tegalalang, dan di Gianyar.
Selain di seputar Kabupaten Gianyar, tercatat, hingga akhir tahun 2024, pagelaran Calon Arang juga dapat dipergoki di Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Karangasem dan Buleleng. Memang tampak, pada sekitar lima tahun terakhir, dramatari yang mengetengahkan lakon-lakon mistik ini begitu diminati masyarakat penonton.
Sejatinya, seni pertunjukan Calon Arang, direlasikan dengan ritus relegi masyarakat Hindu, khususnya di Pulau Bali. Pentas ritual religius ini lazimnya dipersembahkan atau pemujaan kepada Hyang Durga yang berstana di Pura Dalem, salah.satu dari tiga kahyangan yang umumnya ada di setiap desa. Pada klimaks pementasannya, Durga yang disucikan dalam wujud rangda dihadirkan napak pertiwi yang dimaknai sebagai sebuah ruwatan untuk menjaga harmoni kehidupan manusia dan ketenteraman jagat.
Disangga dengan psiko-ritual-kultural seperti itu, menjadikan pementasan Calon Arang terasa kental beratmosfer wingit. Aura angker itu, secara visual, terasa menggedor dari atribut arena pementasannya di halaman luar Pura Dalem.
Pagelaran Calon Arang di Jaba Pura Dalem Gede Sukawati, misalnya, pada Jumat 22 Nopember lalu, bale-bale tingga yang diapit oleh tiga pohon beringin jangkung, meletupkan fantasi, sugesti, dan ilusi magis. Diduga, Dramatari Calon Arang sudah dikenal masyarakat Bali, setidaknya sejak tahun 1825.
Namun sebagai seni pertunjukan yang lakon-lakonnya bersumber dari Lontar Calon Arang–berlatar kejayaan Kerajaan Kahuripan (Daha-Kediri), Jawa Timur, era Raja Airlangga, tahun 1009-1042 Masehi–eksistensinya lekat sebagai persembahan sakral komunal. Sebagai ungkapan seni, konstruksi yang membangun teater ini merupakan perpaduan sejumlah elemen seni pertunjukan Bali.
Estetika tari dan musik iringan dari seni pertunjukan ini tampak diwarnai oleh seni pertunjukan Gambuh, Legong, Topeng, dan Arja. Konsep memadukan sejumlah elemen seni ini, di tengah pegiat seni pertunjukan Bali, dikenal masyarakat sebagai prembon yang berasal dari kata imbuh-imbuhan.
Fenomena mencuatnya Dramatari Calon Arang sekarang ini, berbanding terbalik dengan ironi mengendornya keberadaan sejumlah seni pertunjukan Bali yang sebelumnya digandrungi masyarakat
penonton, seperti Arja dan Drama Gong, misalnya. Drama bertembang Arja yang begitu membius di sekitar tahun 1950-1980, kini megap-megap, mulai sulit untuk menjumpai penampilannya.
Teater rakyat Drama Gong yang demikian mengguncang mulai tahun 1970-an dan berkibar ria hngga tahun 1990-an, kini nyungsep tak berdaya, berkali-kali didorong bangkit, tapi kembali lunglai nelangsa. Kelengangan dari alunan seni tembang opera Arja dan sepinya ingar-bingar Drama Gong tersebut, rupanya yang sekarang menggaet perhatian masyarakat kekinian terhadap Dramatari Calon Arang.
Begitu antusiasnya minat masyarakat kepada teater ini, hingga ditengarai menggeser konteks pementasaannya, yaitu tak hanya sebagai persembahan ritual ruwatan wali, akan tetapi cenderung tergiring sebagai seni tontonan profan.
Bila dipandang dari sisi pelestarian, naik daunnya Dramatari Calon Arang ini, patut disyukuri. Sebab, bisa jadi, efek dari gemuruhnya pagelaran teater ini, berkontribusi positif terhadap apresiasi pada tari barong dan rangda, misalnya. Ketahuilah, kini mulai muncul para penari barong dan rangda oleh kalangan generasi muda, baik yang menguak dari ajang kompetisi maupun yang tersemai karena minat yang menyala.
Akan tetapi, jika dicermati dari kecenderungannya bertoleransi sebagai seni sekuler, terasa menganga celah memanjakan pononton,
berdampak mendistorsi identitas estetik serta esensi spiritualnya. Demi meraup tawa penonton, terlihat bukan hanya para bondres yang
membanyol, malahan tokoh Matah Gede dan Patih Maling Maguna pun ada yang terpeleset mendagel.
Matah Gede, dalam Dramatari Calon Arang, adalah karakter dari Ni Calonarang. Tokoh ini lazim digambarkan ketus dan pemarah
namun berwibawa, bernarasi menggunakan Bahasa Kawi.
Dinamika perkembangan masyarakat, saling kait mengkait dengan transformasi budayanya, termasuk dalam hal ini adalah denyut keseniannya. Pergeseran fungsi dan makna ungkapan seni masyarakat Bali, menunjukkan dialektika beragam nilai yang saling tumpang tindih, di tengah kehidupan global modern.
Histeria pagelaran Dramatari Calon Arang ke arah objek tontonan
atau hiburan, merefleksikan suatu pergulatan dan kompromi antara desiran perangkap selera permukaan, berhadapan dengan ideologi yang mengusung ketaatan pada logika spiritual-transenden.
Penulis, pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar