I Wayan Sukarsa. (BP/Istimewa)

Oleh Ir. I Wayan Sukarsa, M.M.A.

Pariwisata salah satu sub sektor pembangunan tanpa disadari, Bali menjadi pulau tujuan wisata dunia dan penggerak ekonomi, secara perlahan mendegradasi sektor primer secara sistimatis. Globalisasi sebagai anak dari kemajuan IPTEK memunculkan budaya industri, mempengaruhi perilaku sebagian besar masyarakat menjadi komersialisasi, konsumeristik, materialistik, menyingkirkan budaya agraris berpijak pola permisif, tenggang rasa, sosial, religius dan kebersamaan memanfaatkan  pranata-pranata sosial yang menjadi salah satu identitas masyarakat agraris dalam melaksanakan pembangunan.

Pembangunan berkelanjutan memiliki esensi pemanfaatan sumber daya alam secara efektif dan efisien, lebih dominan berakar dan berangkat dari budaya agraris, bukan budaya industri memanfaatkan kekuatan endogen (kearifan lokal) pada setiap bidang pembangunan sebagai filter dan imunitet dalam mempertahankan, mengembangkan dan memanfaatkan seluruh potensi, termasuk sumber daya alam, agar berdaya guna dan berhasil guna (Dasi Astawa & Gede Sedana). Teori pembangunan lokal Bali sejalan dengan teori pembangunan modern, mengadopsi nilai-nilai kearipan lokal bertumpu pada integrated, harmony and equilibrium.

Bali dengan mengandalkan industri pariwisata sebagai penggerak perekonomian, dengan berbagai kekhasan budaya wajib dipelihara. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan menuju ke arah progresif dengan berasaskan keadilan dan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat, baik lahir maupun bathin untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Menjaga, memelihara, melestarikan, merevitalisasi dan mengimplementasikan budaya dan kearifan lokal Bali dalam pembangunan ekonomi menjadi salah satu pilihan strategis, dengan mengusung budaya sebagai modal dasar pembangunan menuju Bali jagadhita.

Baca juga:  Dekarbonisasi Kawasan Urban

Eksistensi pertanian memiliki makna mendasar dan esensial dalam melestarikan budaya dan menata kehidupan masyarakat Bali, sebagai salah satu pilar dalam pembangunan ekonomi dengan mengimplementasikan kearifan lokal, menjadi pilihan pembangunan pertanian keberlanjutan. Mahbub ul Haq (1983) mengungkapkan terdapat tujuh dosa bagi perencana pembangunan, salah satunya adalah memuja angka bermakna dan apa yang tidak bisa diukur dengan angka, tidak bermakna dan dapat diabaikan, padahal tidak semua capaian pembangunan dengan angka bermanfaat bagi masyarakat seperti capaian angka pertumbuhan ekonomi tinggi dan peningkatan menjadi maya, bila pertumbuhan tinggi dan peningkatan pendapatan, tidak diikuti dengan pemerataan.

Baca juga:  Bupati Giri Prasta Rancang Insentif bagi Petani

Lahan Bali sangat subur, masing-masing wilayah memiliki keunggulan komperatif dan kompetitif, mengapa masyarakat belum makmur, padahal pasar komoditas pertanian sangat potensial sejalan dengan kemajuan industri pariwisata. Pembangunan Bali harus ditata, tidak selalu berorientasi pada ekonomi dengan laba semata-mata, aspek kelestarian alam menjadi jauh lebih penting dari pada kepentingan sesaat dan menyesatkan.

Teori pembangunan modern dengan berbagai keterbatasan sejalan dengan konsep kearifan lokal sistem nyeraki, cenik lantang dengan dasar puguh, pageh lan jengah serta Tri Hita Karana. Dalam realitas hidup masyarakat (Hindu) Bali, budaya sistem nyeraki, perlu dikembangkan dalam budi daya pertanian sesuai dengan potensi dan kekuatan lokal, agar menjadi penghasil komoditas pertanian yang unggul dan bervariatif, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Kendatipun sangat disadari paling tidak ada 5 kelemahan komoditi pertanian antara lain: fluktuasi harga tinggi, daya tahan komoditi, ongkos produksi tidak pasti, keterbatasan modal  dan kelemahan manajemen.

Dari aspek kompetisi dan dinamisasi harga komoditi pertanian, penerapan kearipan lokal, dibutuhkan good will masyarakat dan pemerintah, untuk menurunkan tekanan dan ketergantungan komoditi pertanian dari luar, dalam jangka panjang tidak strategis dan tidak bermakna dalam membangun ekonomi Bali berkelanjutan. Berbagai kelemahan tersebut seolah-olah tidak berujung dan berpangkal bagi para petani, sudah sepantasnya dicarikan solusi.

Baca juga:  Tantangan UMKM di Tahun 2020

Ke depan untuk menjaga keberlanjutan pariwisata dan pertanian dibutuhkan pemimpin dan masyarakat Bali dengan spirit pageh, puguh dan jengah mengajarkan manusia produktif dan memiliki etos kerja, bermotivasi tinggi serta mencintai pekerjaan, didukung kriteria pemimpin memiliki kemauan, kemampuan dan keberanian, secara implisit dan eksplisit ada dalam Asta Brata menuju sebuah Orde Suci (Mukhlisin dan Darmahuda 1999), melalui integrasi antara manajemen dan kearifan lokal Cenik lantang suatu konsep berpikir dalam tradisi masyarakat Bali dengan orientasi jauh ke depan sejalan dengan model pembangunan modern karena memiliki multiguna dan makna strategis yakni sustainable development.

Penulis adalah Analis Kebijakan pada Badan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Badung

BAGIKAN