Petugas Gabungan saat berupaya mengevakuasi satu korban tewas lagi, yang baru ditemukan saat upaya pencarian hari kedua. (BP/Gik)

SEMARAPURA, BALIPOST.com -Bukit Mucung Desa Pikat selama ini tak pernah terjadi longsor. Sekali longsor, langsung merenggut empat nyawa setelah tergilas batu besar. Pada lereng bukit ini rupanya cukup banyak warga yang bermukim disana. Bahkan tercatat ada 17 KK warga Desa Adat Pikat tinggal di lereng selatan Bukit Mucung.

Lokasi pasraman yang hancur setelah tergilas batu berdiameter lima meter itu, berada lereng utara dari Bukit Mucung, sedikit jauh dari kawasan pemukiman warga.

Menurut Bendesa Adat Pikat Komang Puja Sudarsana, kegiatan laku spiritual di pasraman milik Jro Putu Wiranata, salah satu warga Desa Pikat telah berjalan cukup lama. Hanya saja diakui selama ini tidak pernah melapor apapun bentuk kegiatannya ke pihak Prajuru Desa Adat Pikat maupun perangkat desa dinas setempat.

Baca juga:  Ternyata Ini Alasannya, Bali Dipilih Jadi Lokasi Pertama AirAsia Ride

“Lokasi pasraman ini persis di lereng Bukit Mucung di wilayah Celuk. Pasien atau pelaku spiritual yang datang tidak terlalu banyak, orang-orangnya itu-itu saja dari sekitar desa tetangga. Biasanya pasraman itu digunakan untuk tempat laku spiritual, seperti meditasi, setelah prosesi melukat di tempat lain di Desa Pikat,” terang Puja Sudarsana, saat mengikuti proses evakuasi para korban bencana longsor, Senin (20/1).

Setelah kejadian ini, dia menegaskan akan segera menggelar rapat dengan Prajuru Desa Adat Pikat, untuk menentukan sikap selanjutnya dari desa adat. Setelah itu, baru akan memohon petunjuk niskala kepada Ida Pedanda, mengenai prosesi upacara apa yang harus dilakukan berkenaan dengan peristiwa ini. Sehingga bencana longsor yang merenggut korban jiwa di lereng Bukit Mucung, menjadi peristiwa yang pertama dan terakhir kalinya.

Baca juga:  Residivis Curat Dibekuk Polisi

“Apa nanti petunjuk niskala dari Ida Pedanda, baru kami bisa informasikan lebih lanjut. Apakah nanti macaru, atau seperti apa, kami belum bisa pastikan. Pasraman dan seluruh kegiatannya itu sementara juga ditutup,” tegasnya.

Selama ini lereng Bukit Mucung tidak pernah terjadi longsor. Melihat lokasi di TKP, menurut dia longsornya tidak menggerus banyak tanah pada bagian tebing. Hanya saja longsor ini membuat batu besar itu jatuh dan menimpa para korban di wantilan semi permanen ini. Dia juga membantah, longsor ini diduga diakibatkan adanya kerusakan tebing akibat aktivitas pengerukan lahan.

“Awalnya mungkin karena hujannya lebat dan lama. Tanahnya tergerus sedikit demi sedikit. Kalau material tanahnya, sebenarnya longsornya sedikit. Cuman batu besar ini yang berbahaya. Kalau pengerukan tebing itu tidak ada. Kenapa, karena tidak ada akses truk menuju bukit ini,” terangnya.

Baca juga:  Ngurah Mayun Bantah Lakukan Premanisme

Selain pengelola pasraman ini, bendesa juga mengatakan sebenarnya cukup banyak warganya yang tinggal di lereng Bukit Mucung ini. Total ada sekitar 17 KK, dari Bukit Mucung ke arah selatan. Sementara pasraman ini ada di sebelah utara dari kawasan permukiman warga di lereng bukit ini. Meski peristiwa ini cukup menghebohkan banyak pihak, warga lain yang tinggal di sekitar lereng itu masih dikatakan masih memilih tetap tinggal disana, karena dirasakan masih aman dari ancaman bencana tanah longsor. “Lingkungan warga lain masih aman. Kalau batu-batu serupa di lereng bukit rasanya tidak ada lagi,” tegasnya. (Bagiarta/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *