Tim gabungan sedang mengevakuasi jenazah korban tertimbun longsor di Jalan Kendedes I, Ubung Kaja, Denpasar, Senin (20/1). (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Terjadinya bencana longsor yang menelan korban jiwa menunjukkan bahwa pengawasan tata ruang wilayah di Bali lemah. Selain bencana, terbangunnya banyak akomodasi wisata di daerah-daerah yang harusnya dilindungi juga menunjukkan Perda Tata Ruang hanya macan kertas. Pemerintah daerah diminta lebih tegas melakukan pengawasan.

Pengamat Tata Ruang dari Fakultas Teknik dan Perencanaan Universitas Warmadewa (Unwar), Prof. Rumawan Salain, mengatakan bahwa tidak semua orang peduli tentang tata ruang terhadap bencana yang terjadi. Masyarakat dan Pemerintah Bali saat ini hanya berpikir tentang  permasalahan macet dan sampah.

Padahal yang perlu dipikirkan saat ini adalah bagaimana tata ruang Bali tidak rusak. Apalagi, alam kembali memperingatkan atau menunjukkan kepada kita semua bahwa kita yang tinggal di dalam alam semesta ini semestinya juga memperhatikan sifat-sifat alam yang memang di luar dari kemampuan kita sebagai manusia biasa.

Prof. Rumawan melihat pengawasan terhadap tata ruang wilayah di Bali perlu ditingkatkan agar lebih tegas lagi. Apalagi, banyak ada aparat untuk menegakkan hal itu.

Baca juga:  Nataru, Polda Bali Siagakan Satgas Antiteroris

Seperti Dinas PU, Satpol PP, dan lainnya. Namun, selama ini petugas tersebut, baik dari yang mengeksekusi maupun yang memerintahkan kurang sinkron.

“Pengawasan ini menurut saya kurang karena lokasi terbangunnya itu tersebar luas, sehingga alasan mungkin kekurangan pegawai. Tetapi, kalau kita ketahui dengan cara penggunaan foto satelit misalkan, setiap jengkal di wilayah kita dengan cepat bisa kita ketahui. Sehingga, dengan demikian pelanggaran setiap titik atau setiap jengkal di ruang-ruang yang ada disekitar wilayah kekuasaan pemerintah, per desa per kabupaten/kota, per provinsi dengan cepat bisa dipantau dan segera bisa dikirimkan aparat untuk meninjaunya,” tegas Prof. Rumawan Salain.

Prof. Rumawan setuju apabila indahnya perencanaan tata ruang, pemanfaatan, dan perlindungannya dibarengi dengan pengawasan. Sebab, perencanaan tata ruang tidak ada gunanya jika pengawasannya lemah. Terlebih lagi apabila pengawasan baru menjadi ramai ketika sudah banyak ada pelanggaran dan memakan korban.

Baca juga:  SPDP Kasus Goldkoin Sudah Diterima Kejari

Diungkapkan, tata ruang wilayah sejatinya sudah dirancang secara pola dan struktur ruang dengan membagi habis. Di mana kawasan budidaya dan non budidaya. Sehingga, hutan mana bisa dimanfaatkan dan yang mana tidak bisa dimanfaatkan untuk kelestarian alam. Begitu juga kemiringan yang boleh dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi tertentu harus melalui izin.

“Dan jika ada bangunan-bangunan yang sampai karena suatu hal jebol karena intensitas hujan yang tinggi, bisa diusut apakah melanggar tata ruang atau teknis bangunannya kurang atau perhatian kebersihan lingkungan tidak diperhatikan yang menyebabkan air tergenang dan menggerus seluruh halaman rumah dan menjadi longsor,” jelasnya.

Pihaknya menyayangkan apabila di era maju seperti saat ini terjadi korban akibat bangunan. Apalagi, sekarang ini semua kabupaten/kota memiliki TPA (tim profesi ahli) dan PBG (persetujuan bangunan gedung) bekerja dengan baik, sehingga semua memiliki ijin dan dikerjakan oleh orang-orang profesional.

“Kalau sampai ada malpraktek dalam hal ini tentu juga harus dilakukan evaluasi seberapa jauh para profesional itu mampu berkiprah dalam mengisi pembangunan. Jadi ada hubungan antara pemilik, konsultan, kontraktor, perizinan, pengawasan, dan lain-lain. Ini mesti sinergis di dalamnya. Dengan demikian, kalau sampai dia sudah punya ijin berarti dia tidak salah dalam tata ruang,” ujarnya.

Baca juga:  Ini, Penyumbang Terbanyak Kasus COVID-19 Juga Tambahan Harian Pasien Sembuh

Prof. Rumawan juga mengaku kaget maraknya pembangunan akomodasi pariwisata yang tanpa kendali hingga ke pelosok-pelosok gunung di Bali yang dimiliki oleh investor. Bahkan, ada beberapa masyarakat setempat konflik dengan investor.

Belum lagi daerah Seminyak hingga Tanah Lot. “Apakah ini sudah cocok dengan tata ruang, kalau itu sawah yang diambli akan menggerus alih fungsi lahan sawah yang mesti harus lestari setiap wilayah perkotaan atau desa, dan paling khawatir dari akibat itu terjadinya perubahan mikro phoenix disekitar wilayah itu terjadi. “Saya setuju kalau ke depan ini pengawasannya sudah lebih ditingkatkan dengan menggunakan teknologi yang canggih,” pungkasnya. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN