I Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. (BP/kmb)

Oleh Kadek Suartaya

Semeton Bali mengatakan Tahun Baru Imlek sebagai “Galungan China”. Setidaknya hingga 1990-an, perayaan keagamaan terpenting orang Tionghoa itu masih sering disebut demikian, khususnya oleh kalangan generasi usia 50-an ke atas. Lebih-lebih bila di sekitar hari raya itu turun hujan yang disertai kilatan petir, syahdan, karena berkaitan dengan “Galungan China”. Konon pada saat itu para dewa dari tanah Tiongkok berkenan berkunjung ke Bali.

Tak ditemukan relasi secara langsung antara Imlek yang sudah dikenal di Negeri Tirai Bambu pada zaman Dinasti Shang (1600-1046 Sebelum Masehi) dengan Galungan–diduga berawal pada tahun 882 Masehi–yang dirayakan oleh umat Hindu setiap 210 hari. Kaitan langsungnya, kemungkinan hanya karena sebagai pengingat waktu, sasih kaulu atau bulan kedelapan, dikenal sebagai musim hujan yang bersamaan atau berdekatan dengan jatuhnya Hari Raya Imlek, seperti pada bulan Januari 2025 ini.

Kemesraan toleransi Bali dengan Tiongkok sudah bersemi pada masa lampau. Jika di tengoknke belakang, interaksi Bali dan Tiongkok telah
bertaut sejak zaman Bali Kuno. Para penjelajah, khususnya kaum pedagang dari Tiongkok, sekitar penghujung abad ke-11 telah menyinggahi Pulau Bali dengan sebutan Po-li.

Penguasa kerajaan Bali saat itu adalah dinasti wangsa Warmadewa yang ketika diperintah oleh Raja Jaya Pangus (1178-1181 Masehi) menunjukkan keunggulannya dibandingkan raja-raja sebelumnya.
Dikisahkan, Kang Cing Wie, gadis cantik, putri seorang saudagar Tiongkok, membuat sang raja terpesona dan kemudian memperistrinya.

Baca juga:  TPID Badung Pantau Ketersediaan Sembako

Masyarakat Bali masa kini mewarisi cerita rakyat itu sebagai cikal-bakal keberadaan Barong Landung, patung suami istri bersosok tinggi besar yang disakralkan dengan sebutan Jero Gede kepada patung pria dan Jero Luh untuk patung wanita. Uniknya, Jero Luh berkulit putih dengan mata sipit bak wanita etnis Tionghoa.

Akulturasi budaya Bali dengan Tiongkok, kini tidak sedikit diwarisi, dari artefak arsitektur hingga pis bolong, dan terpatri dalam puspa ragam
kesenian Bali, khususnya pada khasanah seni pertunjukan. Gong Beri misalnya, sudah dicantumkan dalam Prasasti Blanjong (913 Masehi).
Seni karawitan Bali yang digolongkan gamelan tua itu juga disebut dalam Kitab Bharatayuda (1157 Masehi) karangan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh dengan mengidentifikasikannya sebagai alat musik perang.

Menariknya, gamelan yang kini disakralkan penggunaannya di sejumlah tempat suci di sekitar Sanur tersebut, selain berfungsi
sebagai tatabuhan instrumentalia juga secara khusus mengiringi tari Baris China. Interaksi antar budaya yang berbeda dalam suatu akulturasi yang saling menghargai, rupanya tak begitu memerlukan pemahaman terhadap keterasingan bahasa. Dunia seni akan lebih memiliki keampuhan yang saling berterima dengan keuniversalannya.

Baca juga:  LPD Perlu Perkuat Kerja Sama dan Kuasai IT

Cerita Sampek Engtay, misalnya, pernah mengakar begitu kuat di tengah masyarakat Bali dengan sebutan Sampik. Cerita berseting tempat dan budaya Tiongkok dengan nama-nama tokohnya, seperti Sampek, Engtay, Macun dan lain-lainnya, dilafali pasih, baik oleh para pelaku seni maupun para penonton.

Legenda rakyat ini sudah ditulis dalam bentuk puisi oleh seorang pejabat Dinasti Song pada abad XI. Kisah romansa ini menyebar di Indonesia dalam bentuk serat, sandiwara, novel, dan film. Di Bali cerita ini dikenal luas dalam Gaguritan Sampik yang digubah oleh Ide Ketut Sari dari griya Sanur pada tahun 1915.

Adalah Arja yang memulai mentransformasikan Gaguritan Sampik dalam wujud dramatari bertembang. Sekitar awal-pertengahan abad XX, opera Bali ini menjadi pertunjukan favorit yang mampu menguras air mata penonton, selain dengan lakon Sampik, juga legenda Jayaprana, serta lakon-lakon yang bersumber dari cerita Panji,
seperti kisah Pakang Raras, misalnya.

Sedu sedan penonton menyaksikan kepiluan I Sampik kian menjadi-jadi ketika disajikan dalam Drama Gong. Sekitar tahun 1970-1980, grup Drama Gong Puspa Anom, Banyuning, Buleleng, dengan lakon “Sampik”, laris diundang pentas berkeliling Bali, mengharu biru penggemarnya hingga ke pelosok desa. Ketika teater rakyat Bali yang menguak dari Desa Abianbase, Gianyar, ini mulai redup di awal tahun 2000-an, daya pikat kisah “Romeo dan Juliet” versi Tiongkok ini masih
terus menginspirasi pencipta seni, baik dalam ungkapan tari klasik palegongan maupan dalam presentasi tari kreasi serta teater modern.

Baca juga:  Cegah Pariwisata Merusak Bali, Regulasi Diperketat dan Perkuat Mental SDM

Ketika hujan turun dan langit mengguntur pada akhir Januari 2025 ini, masyarakat Bali tak lupa mensyukuri Imlek sebagai “Galungan China”. Cinta asmara Raja Jaya Pangus-Kang Cing Wie pada zaman Bali Kuno dan kisah kasih Sampek-Engtay dalam pentas seni pertunjukan, mencerminkan sikap inklusif masyarakat Bali yang kini bersumbangsih pada vibrasi kehidupan yang menjunjung toleransi.

Tengok, Intruksi Presiden No.14/1967 yang berisi larangan warga Tionghoa menggelar tradisi dan segala adat istiadat China, sungguh mendistorsi puspa warna budaya Indonesia. Beruntung Presiden Abdurrahman Wahid kemudian mencabutnya dengan Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000. Maka, Barongsai pun kembali nerjingkrak ria. Perayaan Imlek kembali merekah. “Galungan China” kian meriah membuncah. Gong Xi Fa Cai.

Penulis, pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar

BAGIKAN