Togar Situmorang. (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Wacana sopir pariwisata dan transportasi online wajib ber-KTP mencuat saat audiensi para sopir pariwisata dengan DPRD Provinsi Bali pada 6 Januari 2025. Usulan dari Forum Perjuangan Driver Pariwisata (FPDP) Bali ini pun direspons positif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali.

Namun, menurut praktisi hukum, Togar Situmorang, kebijakan ini berpotensi melanggar konstitusi. Ia menilai usulan diajukan oleh perkumpulan sopir pariwisata Bali tersebut bertentangan dengan prinsip Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Togar menjelaskan usulan tersebut melanggar prinsip konstitusi yang mengatur dan menjamin hak setiap warga negara untuk bekerja dan mencari nafkah. “Saya sangat menyayangkan adanya desakan tersebut. Desakan ini berpotensi melanggar konstitusi, dimana sesuai dengan UUD 1945 setiap warga negara dilindungi haknya, termasuk pekerjaan dan kehidupan yang layak,” jelas Togar dalam keterangannya pada Senin (3/2).

Baca juga:  Sopir Taksi Online Ditemukan Meninggal di Sanur

Togar menekankan usulan untuk mewajibkan seluruh sopir pariwisata dan transportasi online memiliki KTP Bali termasuk dalam bentuk diskriminasi, yakni membatasi kesempatan kerja berdasarkan asal-usul, suku, agama, ras, ataupun golongan tertentu. Menurut Togar, apabila usulan tersebut disahkan sebagai peraturan, siapapun bisa melakukan class action atau gugatan dengan alasan perampasan hak-hak konstitusi.

“Membatasi kesempatan kerja berdasarkan KTP dapat termasuk dalam kategori diskriminasi berdasarkan asal-usul. Bahkan jika sampai pemerintah menerbitkan pergub ataupun Perda dimana dirasa itu merampas hak-hak konstitusi seseorang atau siapapun, maka bisa dilakukan class action atau gugatan,” ungkap Togar.

Penolakan juga muncul dari Dewan Pimpinan Unit Bidang Angkutan Sewa Khusus (ASK) Dewan Pimpinan Daerah Organisasi Angkutan Darat (Organda) Bali. Ketua DPU Bidang ASK DPD Organda Bali, Aryanto, menyebut usulan mewajibkan sopir angkutan pariwisata dan transportasi daring memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Bali tidak adil karena rawan menimbulkan permasalahan.

Baca juga:  Sopir Taksi Online Curi HP Turis India

“Jika aturan ini sampai gol, itu berpotensi menimbulkan perpecahan dan ini tidak berdasarkan asas keadilan,” kata Ketua DPU Bidang ASK DPD Organda Bali Aryanto dikutip dari Kantor Berita Antara.

Ia menambahkan Organda Bali akan melakukan gugatan (class action) apabila wacana tersebut terealisasi dalam regulasi yang akan diterbitkan pemerintah daerah.

Sebelumnya, Ketua DPRD Bali Dewa Made Mahayadnya mengatakan aturan terkait moda transportasi baik daring atau konvensional akan diatur melalui peraturan daerah (perda) yang rencananya ditetapkan setelah gubernur terpilih dilantik pada 6 Februari 2025.

“Perda sudah mulai dibahas lewat Bapemperda (Badan Pembentukan Peraturan Daerah) tapi menunggu gubernur definitif. Tidak bisa kalau penjabat gubernur, kami menunggu gubernur definitif dulu,” katanya usai Sidang Paripurna Pengumuman Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Bali Terpilih di Denpasar, Senin (13/1).

Baca juga:  Digelar, Festival Monolog 100 Putu Wijaya

Dewa Mahayadnya menjelaskan angkutan sewa khusus berbasis aplikasi sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 40 tahun 2019 tentang Layanan Angkutan Sewa Khusus Berbasis Aplikasi Provinsi Bali. Dalam regulasi itu salah satunya mengatur pengemudi ojek daring cukup memiliki surat keterangan domisili di wilayah Bali.

Selain itu, dalam peraturan gubernur itu tidak ada sanksi yang mengikat sehingga wakil rakyat menyusun peraturan daerah yang memuat aturan hukum bagi seluruh angkutan transportasi baik daring dan konvensional. “Pergub Bali Nomor 40 Tahun 2019 kami tingkatkan ke peraturan daerah sehingga mobil dan sopir yang beroperasi di Bali bisa kami atur. Kedua, akan ada sanksi di dalamnya,” imbuhnya. (kmb/balipost)

 

BAGIKAN