DENPASAR, BALIPOST.com – Perkawinan Padagelahang kini sudah banyak dilakukan di Bali khususnya bagi keluarga yang memiliki anak tunggal atau karena kondisi tertentu.
Namun di masyarakat masih ada kadus atau kelihan adat yang menolak menyaksikan perkawinan ini karena takut terjadi masalah di kemudian hari.
MUDP Bali dan PHDI Bali menyatakan kini tak boleh ada pihak yang menghalangi mereka yang menjalani perkawinan padagelahang. Mengapa?
Perkawinan Padagelahang di tataran masyarakat masih menghadapi tantangan. Hal ini disebabkan sosialisasi soal jenis pernikahan ini belum menyentuh ke masyarakat terbawah.
Peneliti Hukum Adat Bali dari Fakultas Hukum Unud, Profesor Wayan P. Windia di acara Dialog Merah Putih, Rabu (5/2) di Warung Bali Kopi Jalan Veteran 63 Denpasar menegaskan perkawinan padagelahang ini sudah memiliki payung hukum baik di hukum adat maupun hukum nasional.
Windia mengatakan saat ini tercatat 140 krama Bali melaksanakan jenis pernikahan ini. Mulai 2010, Majelis Desa Adat telah memutuskan dan mengakui keberadaan kawin padagelahang.
Sedangkan secara nasional Undang Undang Perkawinan, jenis pernikahan ini sesuai dengan sistem kekerabatan parental. Bahkan di akta perkawinan tak lagi ada golongan atau pilihan jenis perkawinan. Pengadilan dan MK pun sudah mengesahkan bentuk perkawinan ini.
Salah satu pelaku perkawinan padagelahang adalah Ni Luh Putu Nilawati yang memiliki anak dengan pernikahan kawin pada gelahang. Dia menegaskan jenis perkawinan ini tak ada yang ribet asalkan kedua belah pihak sepakat bersama. Namun biasanya yang membuat ribet adalah kelompok lain diluar pawarangan.
Ketua LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Bali ini mengaku jenis perkawinan ini sangat mengangkat kesetaraan kaum perempuan Bali. Bahwa mereka bisa bertindak sebagai pradana sekaligus purusa di keluarga masing-masing. Caranya, apa isi perjanjian itu harus disepakati bersama dan bagian dari HAM.
Sementara itu Dr. I Ketut Wartayasa, akademisi STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja yang juga Paruman Walaka PHDI Bali mengungkapkan secara hukum ada dan perspektif agama Hindu perkawinan ini tak bertentangan.
Dikatakan sah karena ada manusa saksi yakni aparat dan prajuru, buta saksi berupa banten dan upakara dan dewa saksi serta sulinggih atau pemangku yang muput.
Para akademisi juga menegaskan pada perkawinan padagelahang membolehkan keduanya memiliki dan negen dua pura kahyangan tiga dan memiliki setra dua. Untuk itu menjadi tugas Depag, MUDP dan pemerintah mensosialisasikan perkawinan ini karena diakui secara adat dan hukum nasional. (Made Sueca/balipost)