I Gusti Ketut Widana (BP/Dokumen)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Tak dapat dimungkiri, meskipun mengenal ajaran Catur Marga, empat jalan mencapai-Nya, namun realita kehidupan beragama umat Hindu
dominan masih berkutat pada jalan Karma dan Bhakti. Secara tradisional, jalan Karma dilakukan melalui ngayah (kerja tanpa upah, meski dalam praktiknya tetap berharap (meminta/memohon) berkah.

Sedangkan jalan Bhakti sudah lumrah diekspresikan dengan cara ngaturang sembah, lengkap.dengan sarana upakara/bebanten. Sementara itu, jalan Jnana yang berintikan pada anjuran malajah (belajar) agar semakin intelektual plus.rasional nyaris tertinggal. Terlebih kuatnya keyakinan terhadap piteket “aja wera” yang dimaknai sebagai bentuk larangan belajar agama.

Sehingga apa yang diperilakukan dalam konteks pengamalan ajaran agama lebih bersandar pada gugon tuwon (ngugu nak tua) dan anak mula keto : menjalankan apa yang sejak dulu sudah dilakukan (tetamian).

Lalu, bagaimana halnya dengan jalan tertinggi yang disebut Yoga Marga, sepertinya nyaris tidak ada kesanggupan umat yang rata-rata
awam untuk menempuhnya. Selain diperlukan bekal kemampuan intelektual (terutama pengetahuan rohani), kematangan psikologikal (mental dan kejiwaan), terpenting lagi telah mencapai kesadaran spiritual. Jalan sepi dan sunyi bagi setiap pribadi (individual/personal) yang hendak menuju dan mencapai alam kekal — menyatu dengan-Nya (samadhi), sebagaimana diajarkan Rsi Patanjali lewat jalur Astangga Yoga.

Baca juga:  Literasi Olahraga Kesehatan

Penekanan masing-masing item Catur Marga di atas, dengan jelas menunjukkan letak titik lemah keberagamaan umat Hindu pada umumnya yaitu pada ranah “Jnana” (Widya), terkhusus penguasaan pengetahuan kerohanian (nirwrti marga), yang dapat dikatakan masih
dalam belenggu “Awidya” — diliputi kegelapan atau kebodohan. Keadaan umat yang bodoh inilah ditakuti Sanghyang Weda, sebagaimana dinyatakan pustaka suci Vayu Purana I. 201: apan sanghyang Veda? takut tinukul olih wwng akidik ajinia. Padahal menurut kitab Brahma Sutra, I.1.3 dinyatakan: Sastrayonitwat”: hanya
kitab suci (Weda) cara baik untuk mengenal (kebenaran) Tuhan. Sloka Sarasamuscaya, 177 pun mengingatkan, guna kitab Weda adalah
untuk dipelajari (phala sang hnyang wedaninaji), bukan hanya “dibantenin” saat hari suci Saraswati.

Baca juga:  Rasio Tempat Tidur RS di Tabanan Ideal, Pasien Tetap Numplek di BRSU

Oleh karena itu, sloka Bhagawadgita, IV.34 menganjurkan: “pelajarilah itu (weda) dengan sujud disiplin, dengan bertanya dan kerja berbhakti; orang yang berilmu, mereka melihat kebenaran, akan mengajarkan
(mencerdaskan) kepadamu pengetahuan itu”. Suratan kitab suci Bhagawadgita, XVI.24 menambahkan: “biarlah kitab-kitab suci itu menjadi petunjukmu untuk menentukan kebenaran, untuk menentukan
baik buruknya perbuatan, supaya diketahui dari pernyataan aturan dalam ajaran-ajaran kitab suci untuk engkau kerjakan”.

Dikaitkan dengan hari suci Saraswati yang jatuh setiap Saniscara Umanis wuku Watugunung, ada pesan moral yang patut diingat,
dicamkan sekaligus diamalkan, dimana dalam pelaksanaannya tidak boleh berhenti pada aktivitas ritual semata, tetapi akan sangat ideal
jika beriringan dengan upaya umat meningkatkan kapasitas dan kualitas intelektualnya.

Mengingat, kata “Saraswati” itu sendiri yang berarti “memiliki sifat mengalir”, mengandung makna, bahwa peringatan hari “turunnya” Weda (pengetahuan suci) merupakan momentum bagi umat melakukan pendakian, dari kancah ritual menuju ranah intelektual sebelum nanti berlanjut menuju dan mencapai puncak kesadaran spiritual.

Baca juga:  Mayadanawa dan Penista Agama

Hanya dengan menyinergikan unsur ritual dan aspek intelektual, aktivitas hari suci Saraswati menjadi semakin ideal. Seterusnya
dapat menjadi anak tangga mencapai puncak kesadaran spiritual. Jika keadaan itu berhasil digapai, sloka Bhagawadgita, IV.36 pun menjanjikan: “walau seandainya engkau paling berdosa diantara yang memikul dosa; dengan perahu ilmu pengetahuan (jnana) ini lautan dosa engkau akan seberangi”.

Sudah saatnya umat Hindu kekinian, mulai keluar dari kungkungan ritual yang sejatinya sarat simbolisasi material. Caranya, dengan merujuk pandangan Ch.Y.Glock dan Rodney Stark (1989), yang menyatakan, ibadah agama (termasuk hari suci Saraswati) tidak semestinya dipersempit pengertiannya hanya sebatas aktivitas ritual belaka, tetapi harus diperluas maknanya meliputi unsur: intelektualitas, religiositas dan spiritualitas yang kemudian membumi pada tataran moralitas dan melekat pada level humanitas. Inilah jalan bernas dan berkualitas yang sepatutnya dilakukan umat Hindu di tengah euforia melaksanakan piodalan Sanghyang Aji Saraswati.
Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN