DENPASAR, BALIPOST.com – Belum hilang dari ingatan adanya pesta kembang api yang digelar klub di Berawa, Badung saat umat Hindu menggelar melasti, kini muncul kasus yang hampir mirip. Sebuah klub malam di Berawa, Badung menayangkan visualisasi Dewa Siwa sebagai latar belakang musik yang dimainkan disc jockey (DJ).
Kasus penodaan agama Hindu yang terjadi di Bali ini membuat generasi muda prihatin. Mereka mengungkapkan rasa kekecewaan atas tindakan yang dianggap mencederai nilai-nilai budaya serta tradisi masyarakat Bali yang sudah dikenal dunia itu.
Ni Made Heppy Kirana Thania (21), menilai kasus penodaan agama yang terjadi semakin mengkhawatirkan, terutama karena Bali merupakan pulau kecil yang identik dengan adat, budaya, serta keindahannya.
“Tanggapan saya mengenai kasus penodaan agama Hindu yang terjadi di Bali belakangan ini sangat miris. Bali dikenal dengan adat, budaya, dan panoramanya. Sangat disayangkan jika kasus seperti ini terus-menerus ditoleransi. Jangan sampai Bali kehilangan identitasnya,” ujarnya saat diwawancarai via WhatsApp, Kamis (13/2).
Heppy juga menyoroti fakta bahwa beberapa kasus penodaan agama justru dilakukan oleh masyarakat lokal. Ia menegaskan bahwa sebagai masyarakat Hindu Bali, penting untuk menjaga dan melestarikan budaya serta mengedukasi wisatawan agar lebih memahami aturan lokal.
“Jangan sampai wisatawan menganggap Bali terkenal karena klub malam atau hotel mewah. Bali itu dikenal dunia karena adat, seni, dan budayanya,” tambahnya.
Tanggapan serupa juga disampaikan Ida Bagus Aditya Guna Brahmana (17). Menurutnya, kasus penodaan agama Hindu terjadi akibat provokasi beberapa pihak yang tidak menghormati tradisi umat Hindu di Bali.
“Sebagai generasi muda, saya melihat ada beberapa oknum yang memprovokasi dan menghina umat Hindu, terutama di media sosial. Umat Hindu sering menjadi korban pelecehan, seperti saat Hari Raya Nyepi. Padahal, umat Hindu di Bali selalu memberi toleransi kepada umat agama lain, misalnya saat Ramadan,” ungkapnya.
Aditya menekankan pentingnya penegakan hukum yang lebih tegas kepada para pelaku penodaan agama agar tidak melanggar nilai-nilai persatuan yang tercantum dalam sila ketiga Pancasila.
Sementara itu, Ayu Sita (21) mengungkapkan bahwa banyak generasi muda di Bali merasa marah dan kecewa atas kasus-kasus tersebut. Menurutnya, pelanggaran terhadap adat dan budaya lokal seharusnya diatasi melalui regulasi yang lebih ketat.
“Saya setuju jika Bali memiliki perda khusus yang mengatur sanksi terhadap penodaan agama. Walaupun UU tentang penodaan agama sudah ada, perda akan memberikan regulasi yang lebih spesifik sesuai dengan kondisi sosial dan budaya Bali,” kata Ayu.
Ia juga mendorong pemerintah daerah untuk memperkuat edukasi kepada wisatawan dan pelaku usaha agar memahami serta menghormati adat istiadat di Bali. Selain itu, Ayu menilai bahwa keterlibatan generasi muda dalam menyuarakan isu ini di media sosial dapat membantu meningkatkan kesadaran publik. (Andin Lyra/Pande Paron/Wahyu Widya/balipost)