![Gunakan Visualisasi Dewa Siwa, Pj Gubernur Minta Kadispar Tindaklanjuti Klub Malam Di Berawa 1](https://www.balipost.com/wp-content/uploads/2025/02/balipostcom_gunakan-visualisasi-dewa-siwa-pj-gubernur-minta-kadispar-tindaklanjuti-klub-malam-di-berawa_01-696x464.jpg)
DENPASAR, BALIPOST.com – Krama Bali, terkhusus umat Hindu memang dikenal sangat toleran, polos atau cenderung tidak ingin membesar-besarkan suatu masalah. Alasan utamanya adalah demi menjaga kerukunan. Namun, pelecehan terhadap simbol Agama Hindu dan investor nakal kerap terjadi. Kepentingan ekonomi dan pajak sering kali dijadikan alasan melunak. Penyelesaian secara hukum terhadap pelaku wajib dilakukan.
Akademisi Unhi Denpasar, Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si., mengungkapkan untuk suatu tindakan yang berulang kali terjadi atau dilakukan berupa penistaan simbol agama Hindu, sepertinya sekali waktu, penting dibawa ke ranah hukum, sesuai pasal 156 a KUHP karena tergolong tindak pidana.
“Satu lagi sanksi yang layak diterapkan di era penegakan hukum yang berkeadilan yaitu “jiwa danda”, tindakan hukum berupa penderitaan jasmani maupun rohani bagi pelanggaran adat atau agama yang dalam konteks ini kasusnya dibawa ke ranah hukum berupa pengenaan pasal 156 a KUHP dengan ancaman hukuman 5-6 tahun penjara,” tegasnya.
Ketua DPRD Bali, Dewa Made Mahayadnya atau yang akrab disapa Dewa Jack menegaskan bahwa tidak boleh siapapun, baik investor maupun wisatawan yang melakukan pelecehan terhadap simbol agama Hindu di Bali. Pariwisata Bali harus bermartabat berbasiskan budaya. Baginya, tindakan-tindakan yang melecehkan simbol Agama Hindu masuk kategori “leteh” yang membuat kotor dan mencemari kesucian Bali.
Ketua PHDI Bali, I Nyoman Kenak, mengungkapkan adanya pelecehan simbol Agama Hindu di Bali tidak terlepas dari pelanggaran Peraturan Gubernur (Pergub) Bali tentang Fasilitasi Pelindungan Pura, Pratima, dan Simbol Keagamaan yang dilakukan oleh investor. Karena secara spesifik pada pasal 13 menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan yang dapat mengganggu ketenangan dan kesucian tempat-tempat suci dan upacara keagamaan.
“Kalau aturan itu tidak ditegakkan saya yakin pelanggaran-pelanggaran berikutnya pasti akan terjadi. Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit pasti akan goncang. Kita yang ada didunia ini utamanya di Bali harus selalu mengikuti aturan yang ada, terutama Pergub Nomor 25 Tahun 2025 ini,” ujar Kenak.
Berulangnya kasus pelecehan simbol agama Hindu dinilai karena belum ada penindakan hukum secara tegas. Widana membandingkan dengan kasus Ahok beberapa waktu lalu yang dijerat pasal penistaan agama dan terkena hukuman penjara.
Karena, sebagian umat atau organisasi sosial keagamaan Islam solid bahkan keras dalam melakukan pembelaan terhadap sendi-sendi keyakinannya (aqidah). “Berbeda sekali dengan umat dan organisasi sosial keagamaan Hindu, mungkin karena berasaskan wasudewa kuthum bhakam atau tat twam asi, bahwa semua orang itu bersaudara sehingga wajib saling mengasihi dan memaafkan setiap kesalahan orang. Ditambah piteket leluhur ‘tan hana wong swasta anulus’, tidak ada manusia yang sempurna, dan seterusnya. Jadilah, terutama jika terkait kasus yang bersinggungan dengan rasa agama dan dilakukan pihak lain, jurus yang ditempuh sebagai solusi pasti permintaan maaf lalu dimaafkan dan urusan pun selesai. Demikian terus terulang merefleksikan umat Hindu terkesan lunak, lemah, tidak punya rasa fanatik atau jiwa militan. Bahkan, ada juga yang menilai takut, lantaran terkungkung sindrom Minderwaardigheidscomplex yang menyebabkan seseorang atau suatu kelompok merasa rendah diri,“ tandasnya.
Gusti Widana mengungkapkan bahwa sebenarnya sanksi adat berupa pengajuan permintaan maaf (sakala) itu amat mudah dilakukan. Sekalipun dituliskan di atas kertas lengkap dengan meterai dan tanda tangan. Tidak ada jaminan tindakan serupa tak akan dilakukan. Termasuk sanksi berupa “guru piduka” (niskala) yang tergolong “sangaskara” (upakara yadnya), penyelesaain masalah dengan cara ritualistik simbolik. Sedangkan sanksi adat lainnya yang semestinya dikenakan juga kepada pihak penista simbol agama Hindu Dewa Siwa, seperti dilakukan pihak Atlas Beach Club adalah “artha danda”, penjatuhan denda berupa “jinah” (pis bolong), kini bisa juga berbentuk uang rupiah/dollar.
Terkait siapa yang harus mengawasi dan menindak pelecehan simbol agama, Gusti Widana mengatakan seluruh umat Agama Hindu, baik secara individual, maupun melalui organisasi sosial keagamaan yang secara formal berperan sebagai legal standing dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan pelecehan, penodaan, penistaan terhadap simbol-simbol suci Hindu. “Selanjutnya serahkan dan biarkan aparat penegak hukum atau para pengadil yang berwenang menjatuhkan sanksinya sesuai hukum yang berlaku di negeri ini,” tandasnya.
Ketua DPRD Bali, Dewa Made Mahayadnya atau yang akrab disapa Dewa Jack menyesalkan tindakan sejumlah pengusaha yang demi bisnis untuk mencari keuntungan malah menggunakan cara-cara yang tidak sepatutnya dengan melibatkan simbol-simbol agama Hindu atau budaya Bali tersebut. Ia menegaskan bahwa praktik semacam ini tidak bisa dibiarkan dan tidak boleh terulang kembali di Bali, karena akan ada tindakan tegas bagi para pengusaha yang mencederai kehormatan Bali.
Karena itu, DPRD Bali akan melakukan upaya “bersih-bersih” dengan membentuk tim terpadu yang bertugas untuk menjaga kebersihan dan kesucian Bali dari praktik-praktik pengusaha atau investor yang menghina simbol-simbol agama Hindu maupun merusak adat budaya Bali. Termasuk akan melakukan penutupan usaha jika ada yang melecehkan simbol agama Hindu, seperti yang terjadi di night club di Atlas Beach Club.
Sementara itu, Kenak mengungkapkan pihak yang melakukan pelanggaran meskipun sudah meminta maaf dan melakukan upacara guru piduka, hal itu tidak cukup. Karena kerugian material sangat besar. Bahkan, semua Umat Hindu terluka atas kejadian yang telah melecehkan simbol-simbol Agama Hindu.
“Dari kejadian yang sudah berlangsung itu, baik di Finns Beach Club maupun di Atlas Beach Club mari kita tegakkan aturan yang sudah ada, sehingga tidak ada lagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Penegak aturan mesti lebih berani bersikap tegas ke depannya,” pungkasnya. (Ketut Winata/balipost)