I Ketut Rinata. (BP/asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kasus pelecehan terhadap simbol agama masih menjadi polemik dan bahkan masih diperdebatkan di publik. Secara umum, pandangan umat terbelah.

Ada yang mendukung pemberian sanksi, ada juga yang cukup dengan permohonan maaf, tentu dengan konsekuensi hukum di dalamnya. Di Bali sendiri intrik dugaan penistaan agama beberapa kali mencuat ke publik.

Kebanyakan setelah viral, si pihak pelaku secara terbuka mengajukan permohonan maaf. Inilah yang membuat pro dan kontra. Ada pihak yang memilih mengajukan kasus penodaan agama ke jalur hukum, ada pula cukup meminta maaf dengan mengaturkan guru piduka.

Baca juga:  Terkendala Ombak Besar, Proyek Senderan Tunggu Air Surut

Praktisi Hukum I Ketut Rinata berpendapat bahwa pelaku penodaan agama secara umum memang dapat dipidanakan. Namun, tak serta merta bahwa mereka terutama yang tidak paham agama harus buru-buru dipidanakan. Namun, ada upaya lainnya guna membuat si pelaku menyadari kekeliruannya.

Secara hukum, kata Rinata, bahwa pelecehan simbol agama diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pi-dana (KUHP). “Pasal yang mengatur penistaan agama ada di Pasal 156a KUHP,” jelasnya. Dalam pasal tersebut, kata dia, Pasal 156a KUHP melarang perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama tertentu.

Baca juga:  Bocah TK Menjadi Korban Pelecehan

Praktisi hukum lainnya, I Kadek Made Arta berpendapat memang penodaan terhadap agama, si pelaku dapat dipidanakan. “Selain Pasal 156a KUHP, ada juga UU ITE. Bahkan di luar sana (luar Bali) kasus penodaan agama banyak menggunakan UU ITE. Ini pendapat saya ya. Karena adanya unsur mengenai ujaran kebencian pada UU ITE. Adapun pasal yang kerap dipakai, yakni Pasal 27 dan Pasal 28,” ucapnya.

Rinata menjelaskan penistaan agama dilakukan secara sengaja di muka umum dapat diancam pidana penjara selama lima tahun. Jika penistaan dilakukan secara tertulis atau melalui media elektronik, pelaku dapat diancam pidana penjara selama enam tahun.

Baca juga:  Polisi Ungkap Penambangan Ilegal di Desa Gubug

Pria yang juga advokat itu menegaskan selain Pasal 156a KUHP, KUHP juga mengatur pasal-pasal yang berkaitan dengan delik terhadap kehidupan beragama, seperti Pasal 175, Pasal 176, Pasal 177, dan Pasal 503 KUHP.

Penodaan agama juga diatur dalam UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan atau Penodaan Agama. “Nah, berkaca dari pasal pasal-pasal itulah kami berkeyakinan bahwa pelaku pelecehan atau penodaan agama dapat dipidanakan,” ucap Rinata. (Miasa/balipost)

BAGIKAN