A.A Ketut Jelantik, M.Pd. (BP/Istimewa)

Oleh  A.A. Ketut Jelantik

Dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini, eksistensi pengawas sekolah menjadi perbincangan hangat. Bukan saja karena pengawas sekolah merupakan karier tertinggi seorang guru, namun juga karena peran penting yang diemban dalam rangka mewujudkan pendidikan yang berkualitas.

Namun di sisi lain jumlah mereka jauh dari kata ideal. Puncak pergunjingan tentang pengawas sekolah terjadi ketika Kemendikbudristek melalui Direktorat Guru dan Tendik menerbitkan Surat Edaran Nomor 0584/B3/GT.03.15/2022 tanggal 2 Maret 2022 tentang Penghapusan Pelaksanaan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Calon Pengawas Sekolah (Cawas) sebagaimana diketahui, sebelumnya syarat seorang guru menjadi pengawas sekolah yang bersangkutan harus memiliki sertifikat calon pengawas sekolah. Sertifikat tersebut diperoleh melalui Diklat Cawas.

Terbitnya Surat Edaran Direktorat GTK tersebut seolah makin mempertegas sinyalemen eksklusivitas guru penggerak. Sebab, hanya mereka yang dinominasikan dan sekaligus memiliki hak monopoli untuk menjadi calon Pengawas Sekolah maupun Kepala Sekolah.

Namun sayang, kebijakan untuk mengangkat guru penggerak menjadi pengawas sekolah tidak berjalan mulus. Harapan untuk menambah jumlah pengawas sekolah pun kandas di tengah jalan. Mekanisme rekrutmen yang terlalu birokratis diduga menjadi pemicunya.

Pada bagian lain, sebagian guru penggerak juga enggan untuk menjadi pengawas sekolah dengan berbagai alasan. Manajemen talenta, sebuah program yang dirancang untuk melahirkan calon pengawas sekolah dan kepala sekolah yang sebelumnya digadang-gadang akan menjadi “senjata” pamungkas untuk menuntaskan carut marut pengisian pengawas sekolah dan kepala sekolah belum sesuai dengan skenario awal. Keluh kesah pemerintah daerah melalui Kepala Dinas Pendidikan perihal kekurangan tenaga pengawas sekolah dan kepala sekolah sering mengemuka dalam berbagai momen.

Baca juga:  Pertanian dalam Perekonomian Bali

Momentum pergantian Kepemimpinan Nasional, paska Pilpres, yang semula diharapkan akan mampu menghilangkan polemik jabatan pengawas sekolah tenyata tidak sesuai ekspektasi. Di penghujung tahun 2024 lalu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) mengeluarkan kebijakan baru yang cukup mengejutkan yakni menghapus jabatan fungsional pengawas sekolah.

Melalui Permenpan-RB Nomor 21 tahun 2024 tentang Jabatan Fungsional Guru, pengawas sekolah, penilik serta pamong belajar “dipaksa” untuk kembali masuk “barak” jabatan Fungsional Guru. Ada sejumlah rasional yang menjadi landasan terbitnya peraturan ini.

Selain diharapkan akan mampu menghilangkan dikotomi antara pendidik dengan tenaga kependidikan, juga berkaitan dengan upaya untuk menjaga fleksibelitas pengelolaan jabatan fungsional yang memiliki tugas beririsan dan sekaligus juga salah satu upaya untuk menghilangkan kesenjangan dalam hal kesejahteraan, penghargaan, perlindungan serta pengembangan kompetensi.

Baca juga:  Quo Vadis Pungutan Wisman

Dalam kontek tugas pokok fungsi pengawas sekolah, pun mekanisme rekrutmen calon pengawas sekolah, tidak ada yang salah dengan terbitnya peraturan baru ini. Bahkan, hemat penulis, Pemernpan-RB 21 tahun 2024 memberikan kanal yang sangat terbuka dan luas dalam rangka rekrutmen calon pengawas sekolah.

Untuk menduduki jabatan pengawas sekolah tidak lagi dimonopoli oleh kelompok guru tertentu. Semua guru memiliki kesempatan dan hak yang sama sepanjang mereka telah pernah mengikuti Diklat calon pengawas sekolah. Dalam hal peran pengawas sekolah sebagai pendamping satuan pendidikan, Permenpan-RB 21 tahun 2024 juga memperkuat eksistensi guru sebagai pendamping satuan pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Nomor 4831/ B/HK.03.01/202 tentang Peran Pengawas Sekolah dalam Implementasi Kebijakan Merdeka Belajar.

Resistensi muncul ketika ada ketentuan dalam Permenpan-RB 21 tahun 2024 sebagaimana yang tertuang dalam BAB X Ketentuan Peralihan Pasal 23 yang memaksa pengawas sekolah, penilik dan pamong belajar kembali ke “barak” jabatan Fungsional Guru. Bagi pengawas sekolah yang merasakan privilege dengan jafung tersendiri, tentu merasa sangat dirugikan. Permenpan-RB Nomor 21 tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan angka kreditnya memang memberikan sejumlah privilege bagi pengawas sekolah. Salah satunya adalah bonus Batas Usia Pensiun (BUP) 65 tahun bagi Pengawas Sekolah dalam jabatan Pengawas Ahli Utama.

Baca juga:  Menjaga Perdamaian Pasca-Pilpres 2024

Era disrupsi yang ditandai dengan terjadinya perubahan yang sangat paradigmatis telah mengubah lanskape kehidupan termasuk pendidikan. Maka dibutuhkan sosok pengawas yang yang agile dan transformative yakni pengawas sekolah yang lincah dalam membersamai sekolah baik ketika proses penyusunan perencanaan program, pelaksanaan program, maupun ketika melakukan tindakan reflektif.

Selain itu pengawas sekolah juga diharapkan menjadi agen perubahan. Untuk mewujudkan itu sudah saatnya para pengawas sekolah diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri, berkarya, berinovasi dan diberikan kepastian baik dalam hal Tupoksi, perlindungan, kesejahteraan serta pengembangan karir. Pemerintah tentunya akan dinilai sangat bijak jika tidak membiarkan pengawas sekolah terombang ambing dalam ketidakpastian karena inkonsistensi kebijakan. Semoga terbitnya Permenpan-RB 21 tahun 2024 memberikan arah dan garis segragasi bagi pengawas sekolah dalam menjalankan tugasnya.

Penulis, Pengawas Sekolah Dikpora Kabupaten Bangli

BAGIKAN