
DENPASAR, BALIPOST.com – Dalam rangkaian perayaan Bulan Bahasa Bali 2025, lomba nyurat lontar digelar di Taman Budaya Bali pada Selasa (18/2). Lomba ini diikuti oleh sembilan peserta yang merupakan perwakilan dari masing-masing kabupaten/kota di Bali.
Menurut salah satu dewan juri, I Ketut Sudarsana, ada sejumlah kriteria penilaian dalam lomba ini, yakni komposisi tulisan, bentuk aksara, kesesuaian pasangan aksara dan ketuntasan menulis naskah yang disediakan.
Pria yang telah menjadi juri nyurat lontar dari tahun ke tahun ini mengatakan kualitas berfluktuasi dari tahun ke tahun, tergantung pada latihan yang dilakukan. “Dari segi kuantitas, peserta di tingkat provinsi tetap berjumlah sembilan orang, namun secara kualitas, mereka berada di kelas menengah. Oleh karena itu, latihan yang berkelanjutan di sekolah maupun di desa adat sangat diperlukan agar keterampilan menulis aksara Bali di lontar semakin terasah,” kata pria asal Desa Kapal, Badung ini.
Ia juga menyampaikan harapannya kepada generasi muda agar lebih mencintai aksara Bali. “Bagaimana kita bersama-sama, baik generasi muda, tua, maupun anak-anak, bergerak sejak dini untuk mencintai aksara Bali. Upaya ini membutuhkan pengabdian agar program pelestarian aksara Bali yang dicanangkan oleh pemerintah dapat berdampak positif bagi keberaksaraan di Bali,” tambahnya.
Selain dewan juri, beberapa peserta lomba juga berbagi pengalaman dan tantangan mereka dalam mengikuti kompetisi ini. Salah satu peserta, I Kadek Alit Suanata, siswa SMP Negeri 6 Mengwi berusia 14 tahun, mengaku tertarik mengikuti lomba sejak kelas 7. “Saya sudah sering ikut lomba nyurat lontar setiap Bulan Bahasa Bali. Untuk persiapan lomba ini, saya berlatih selama satu minggu. Adapun kesulitan yang saya alami adalah lontarnya yang agak keras, sehingga tulisan kurang maksimal,” ungkapnya.
Sementara itu, I Ngurah Wahyu Jelantik (15), siswa SMP Negeri 5 Amlapura, Karangasem berbagi pengalaman serupa. “Awalnya saya dipilih oleh pembina, Ibu Dewa Ayu, untuk mewakili Kecamatan Karangasem di tingkat kabupaten. Dari situ, saya semakin tertarik karena menulis aksara Bali terasa seru dan sekaligus melestarikan budaya Bali. Untuk lomba ini, saya berlatih sekitar dua minggu. Kesulitan utama yang saya hadapi adalah dalam memegang pengrupak (sejenis pisau untuk menulis aksara di lontar, red) karena berbeda dengan memegang pensil. Pengrupak dipegang dengan jari-jari dan didorong dengan jempol, sehingga sulit untuk membentuk tulisan yang rapi,” jelasnya. (Wahyu Widya/Agus Pradnyana/balipost)