
Oleh Ida Bagus Gede Randika Pradayana
Seratus hari adalah waktu yang singkat untuk menjadi tolak ukur keberhasilan Pemerintahan. Bagaimana bisa permasalahan negara dengan ratusan juta penduduk diselesaikan dalam sekejap? Korupsi, Kemiskinan, Beban Hutang, Konflik Agraria, Reformasi Kelembagaan bukan permasalahan yang sederhana. Namun, realita berkata demikian, 100 hari selalu menjadi acuan publik dalam menilai kompetensi Presiden sebagaimana disampaikan Terry Sullivan, Ilmuwan Politik University of North Carolina yang dikutip Ferry Amsari dalam kolom Tempo.
Kita ambil contoh, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Belum genap 100 hari, bahkan setelah dilantik, Trump langsung menandatangani sejumlah perintah eksekutif. Mulai dari inisiatif gender, perdagangan, isu imigran, hingga posisi AS dalam organisasi internasional. Apa yang dilakukan Trump adalah upaya untuk menegaskan arah kebijakannya dan memperkuat posisinya terutama di tataran pemilih Republik. Tidaklah mengherankan, sebab perbedaan ideologi di sana sangatlah jelas.
Hal demikian sejatinya pun dilakukan Pemerintahan Prabowo dalam 100 hari masa kerjanya. Berbagai kebijakan telah diambil dalam rangka memenuhi janji politiknya, Asta Cita. Dimulai dari Program Ketahanan Pangan, Peningkatan Gaji dan Tunjangan Guru, Penghapusan Utang UMKM, Kenaikan Upah 6,5%, Efisiensi Anggaran serta beberapa kebijakan penting lainnya. Pemerintahan Prabowo juga sudah mulai menjalankan program unggulannya seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Program 3 Juta Rumah.
Berdasarkan Survei Litbang Kompas, tingkat kepuasaan Pemerintahan Prabowo mencapai 80,9 persen. Sebuah rapor hijau dan angka yang sangat istimewa bagi Pemerintahan yang baru berjalan. Sekaligus merupakan tingkat apresiasi tertinggi sepanjang sejarah survei dilakukan. Sebagai pembanding, pada awal Pemerintahan Joko Widodo di tahun 2015, derajat kepuasaan publiknya tercatat sebesar 65,1 persen.
Dari sekian kebijakan yang ada, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025 kiranya menarik untuk dikaji lebih dalam. Total efisiensi anggaran yang ditetapkan sejumlah 306,69 Triliun Rupiah dimana 256,1 Triliun Rupiah dari Kementerian/Lembaga dan 50,59 Triliun Rupiah dari Transfer Daerah. Presiden Prabowo mengatakan bahwa efisiensi ini dilakukan untuk memastikan anggaran tepat guna dan mendukung program prioritas.
Di satu sisi, pemangkasan memang diperlukan, beban hutang negara kita terus meningkat. Pada tahun 2025, utang jatuh tempo mencapai 800 T. Selain itu, acara-acara seremonial, seminar, focus group discussion dan sejenisnya memang perlu dikurangi.
Tidak ada signifikansi bagi kemajuan negara yang terlihat dari kegiatan-kegiatan tersebut. Presiden Prabowo juga mengatakan, hal yang dibutuhkan saat ini adalah tindakan nyata.
Namun, di lain sisi, mengapa Inpres ini cenderung menganakemaskan beberapa Kementerian/Lembaga (K/L)? Sebab ada beberapa pengecualian dalam Inpres ini. Mengutip pendapat Yanuar Nugroho dalam Harian Kompas, efisiensi anggaran tidak memikirkan dampak teknokratis secara masak-masak. Para K/L tidak akan bisa memberikan layanan dengan baik ketika anggaran kerjanya dipotong. Sebut saja Kementerian Pekerjaan Umum misalnya yang mengalami pemangkasan hingga 70%.
Dalam perspektif lain, efisiensi anggaran rasa-rasanya serupa dengan kebijakan Trump yang menawarkan 2 Juta ASN-nya untuk mengundurkan diri. Pasalnya tak sedikit para pegawai pemerintah yang mengalami lay off. Sufmi Dasco, Wakil Ketua DPR memang telah mengkonfirmasi bahwa tidak akan ada PHK imbas dari efisiensi anggaran. Tapi faktanya, nasi sudah menjadi bubur, beberapa K/L sudah mulai melakukan pemangkasan tenaga kerjanya, Radio Republik Indonesia (RRI) salah di antaranya.
Pada seratus hari ini, Pemerintahan Prabowo sepertinya ikut menerapkan Mazhab baru dalam Tata Kelola Pemerintahan. Namun, banyak unintended consequences yang lepas dari proyeksi pemerintah. Sehingga terjadi mispersepsi dan menurunkan ritme birokrasi. Sungguh, gaya pengambilan keputusan khas militer sangat tergambar jelas dalam pengambilan kebijakan ini. Inilah gaya kepemimpinan Prabowo yang akan kita lihat sepanjang 5 tahun kedepan. Terlepas dari apapun, permasalahan yang timbul pasca Inpres Nomor 1 Tahun 2025 terbit perlu dipikirkan solusinya. Secara teknis tak banyak yang bisa ditawarkan, akan tetapi idealnya pemangkasan dilakukan secara proporsional untuk meminimalisir terjadinya resistensi, terutama yang timbul dari raja-raja kecil yang disebut.
Penulis, Staf Anggota DPD RI Perwakilan Provinsi Bali