Aksi demonstrasi pengemudi ojek online bertajuk "AKSI Ojol 272" yang sebelumnya diprediksi akan diikuti oleh ratusan ribu peserta, pada Kamis (27/2). (BP/Istimewa)

JAKARTA, BALIPOST.com – Aksi demonstrasi pengemudi ojek online bertajuk “AKSI Ojol 272” yang sebelumnya diprediksi akan diikuti oleh ratusan ribu peserta, pada Kamis (27/2) hanya dihadiri puluhan pengemudi. Para peserta aksi ini berkumpul di kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Aksi ini diinisiasi oleh Asosiasi Pengemudi Transportasi dan Jasa Daring Indonesia, Garda Indonesia. Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, dalam siaran persnya menyampaikan bahwa demonstrasi ini berkaitan dengan tarif ojek online, potongan biaya aplikasi, serta beberapa tuntutan lainnya.

Sebelum aksi ini dimulai, Andi Kristiyanto selaku Ketua Presidium Koalisi Ojol Nasional (KON) mengatakan ada kesan pihak yang menyerukan agar off-bid dalam aksi ini, hanya klaim sepihak yang tidak di dukung oleh rekan-rekan ojol dari berbagai komunitas. Ia juga menambahkan bahwa fakta di lapangan, termasuk hasil pengecekan oleh Forum Ojol Yogya Bersatu (FOYB), menunjukkan bahwa tidak ditemukan alamat posko aksi sebagaimana disebutkan dalam selebaran yang beredar.

Baca juga:  Industri Penerbangan di 2024 Tunjukkan Kinerja Positif, Maskapai Raih Pertumbuhan Ratusan Persen YoY9

“Dengan fakta tersebut, kawan-kawan ojol juga meragukan kredibilitas pihak tersebut, yang diduga memanfaatkan ojol untuk kepentingan pribadinya, tidak ada manfaatnya buat kawan-kawan ojol dan bahkan bisa merusak citra ojol yang bisa berakibat menurunnya kepercayaan masyarakat pengguna jasa terhadap ojol, dan tentunya seruan tersebut merugikan kawan-kawan ojol,” ujar Andi.

Dalam beberapa tahun terakhir, tuntutan dari komunitas ojek online kerap menjadi perdebatan di kalangan masyarakat dan pakar kebijakan transportasi. Beberapa isu utama yang sering diangkat meliputi penetapan tarif dasar yang adil, potongan biaya aplikasi, kebijakan insentif dan promosi, serta tuntutan agar pengemudi ojek online mendapatkan tunjangan hari raya (THR) dan diangkat sebagai pekerja tetap.

Baca juga:  Soal BHR, Pemerintah Diminta Buat Kebijakan Berimbang

Dr. Yudi Wahyudi, pakar transportasi dari Universitas Indonesia, pada tahun 2024 menyoroti bahwa tuntutan revisi potongan biaya aplikasi dari 20% menjadi maksimal 10% perlu dikaji lebih dalam. “Menurunkan potongan aplikasi memang dapat meningkatkan pendapatan pengemudi, tetapi kita juga harus mempertimbangkan keberlanjutan platform yang memberikan layanan ini,” ujarnya.

Sementara itu, Dwi Hartanto, pengamat ekonomi digital, dalam analisisnya di 2024 menyatakan kebijakan promosi yang dikritik oleh pengemudi justru menjadi bagian dari strategi bisnis yang bertujuan meningkatkan jumlah pengguna dan akhirnya dapat memberikan lebih banyak order kepada pengemudi. “Jika promosi dihapus begitu saja, ada risiko penurunan permintaan yang juga akan berdampak pada penghasilan mereka,” jelasnya.

Baca juga:  Wacana THR bagi Mitra Platform Digital Dikhawatirkan Hambat Pertumbuhan Industri

Terkait tuntutan THR dan status pekerja tetap, Dr. Anwar Fadillah, ahli hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan pengemudi ojek online berstatus sebagai mitra, bukan pekerja tetap. “Menjadikan pengemudi sebagai pekerja tetap berarti mengubah secara fundamental model bisnis platform transportasi daring. Hal ini akan berdampak luas, baik dari sisi hukum maupun ekonomi. Indonesia akan dihadapkan pada jutaan mitra ojol ini akan kehilangan sumber pendapatan, karena perusahaan tidak mungkin bisa menampung 100% jumlah mitra yang ada saat ini jika harus menjadi pekerja tetap” jelasnya. (kmb/balipost)

BAGIKAN