Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Perang dahsyat bharatayuda dalam cerita Mahabharata disulut polah korupsi. Borok penyakit sosial itu ada pada diri sulung Korawa, Duryadana.

Masyarakat penonton seni pertunjukan wayang kulit tak heran lagi
dengan mabuk kuasa dari putra Raja Astina, Drestarasta dengan permaisurinya, Gandari, ini. Penggandrung Sendratari Mahabharata di arena Pesta Kesenian Bali (PKB), telah pula banyak menyimak sepak terjang nan culas, korup manipulatif dari Duryadana, didukung 99 adik-adiknya, disokong patgulipat siasat busuk pamannya, Sekuni (Sengkuni), dalam merengkuh ambisi serta melanggengkan posisinya sebagai raja yang sejatinya bukan haknya.

Melalui penghalalan segala tindak korupsi, Duryadana dan penyikutnya ngotot mempertahankannya kendati harus menyabung
nyawa di medan Kuruksetra. Dituturkan dalam Sabhaparwa–kisah kedua dari 18 episode epos Mahabharata– Duryadana menjebak Yudistira dalam sebuah permainan dadu.

Sekuni telah mempersiapkan dadu curang untuk memastikan kemenangan junjungannya. Manipulasi licik inilah yang kemudian mengantar Korawa ke puncak kekuasaan Astina, sebaliknya menjungkirkan Pandawa ke jurang nista terhina dina, kehilangan kerajaannya (Indraprasta) hingga terampas kehormatannya,
bahkan harus mengasingkan diri selama 13.tahun. Memanipulasi kecurangan secara sistematis, terstruktur dan masif dalam permainan
dadu berseringai jahat tersebut, adalah salah satu jurus koruptif Duryadana.

Baca juga:  Sulinggih Milenial Bermedsos

Kejujuran ditelikungnya untuk meraup keuntungan pribadi dan
kelompoknya. Sebaliknya, terhadap Yudistira cs, kejujuran telah dipreteli habis-habisan. Drupadi yang dipertaruhkan Yudistira di meja judi, ikut menanggung derita kekalahan suaminya.

Ia dipermalukan di depan umum oleh Dursasana, adik kedua Duryadana yang bernafsu liar. Kacaunya, karena terbawa oleh rasa sayang kepada Duryadana, Raja Dretarastra yang buta sejak lahir, bungkam, membiarkan putra-putranya bermain kotor dan berlaku brutal, meskipun nuraninya tak menyetujuinya.

Sebab, kepada adiknya, Pandu (raja Astina, almarhum, ayah Yudistira cs), Dretarastra pernah berjanji akan menyerahkan tahta yang
dijabatnya, setelah Pandawa sudah dewasa. Ketika Pandawa mengalah dengan mendirikan istana megah Indraprasta—dirampas Korawa dalam permainan dadu–Duryadana yang sudah kebelet untuk meraih tampuk tertinggi kekuasaan, berlenggang ria memperoleh
tahta raja Astina dengan menggantikan ayahnya (Dretarastra).

Baca juga:  Memangkas Beban Negara

Duryadana lebih merasa nyaman dengan pendusta dan para penjilat di sekitar lingkaran kekuasaannya. Kelihaian Sekuni meramu siasat licik untuk mencelakai Pandawa sungguh sangat disukai Duryadana. Kesetiaan barisan Sekuni tersebut, dipelihara sarat nepotis, diberikan segala kemudahan, kesetiaannya dielus-elus.

Totalitas kesetiaan yang ditunjukkan Karna, misannya, adalah buah dari manipulasi yang berkontribusi penting bagi Korawa. Karna yang tangguh, sebagai anak terbuang Kunti yang berstatus anak kusir, diberikan kekuasaan sebagai raja Anga atau Angga (Jawa, Awangga) oleh Duryadana, bukan dari niat baik akan tetapi untuk dimanfaatkan menghadapi Pandawa.

Duryadana juga tak segan-segan menerapkan dukungan politik sandera. Salya, tersandera, yang sejatinya memihak Pandawa, beralih menyokong Korawa.

Politik sandera yang digunakan Duryadana adalah “diplomasi kuliner”, yakni mencegat serta menjamu dengan makanan serba mewah, enak lezat, kepada Salya dan pasukannya saat menuju medan Kuruksetra.

Duryadana adalah raja bebal yang tak hirau dengan petuah. Segala bentuk pengawasan terhadap diri dan kedudukannya, diberangusnya. Penyalahgunaan kekuasaan yang dipraktekkan Duryadana, menempatkannya sebagai tokoh paling korup, di antara raja-raja zalim dan dusta yang dikisahkan epos besar karangan Byasa atau Wiyasa itu.

Baca juga:  MK Tolak Gugatan Hukuman Penjara Minimal 2 Tahun bagi Koruptor

Saripati yang dapat ditarik dari karya sastra klasik India tersebut, pararel dengan ungkapan filsuf Yunani, Plato (427-347 SM), bahwa kekuasaan tanpa pengawasan cenderung korup. Korupsi, tak lain dari penyakit sosial yang laten menodai kehidupan manusia, dulu dan kini, termasuk di sekitar kita, di Indonesia, menjerumuskan para pengampu kekuasaan dari level pusat hingga merembet pada tikus-tikus kelas selokan.

Fenomena destruktif ini sering melatah secara kolektif sebagai “budaya”. Tak sedikit orang-orang menerimanya secara sosial sebagai sesuatu yang “normal” dalam kehidupan sehari-hari, kebiasaan, atau bahkan sebagai etiket informal dalam birokrasi, politik, dan masyarakat. Padahal, akibat endemi virus korupsi ini, mencederai dan
mengoyak tatanan luhur masyarakat, mengancam stabilitas dan kemajuan negara. Refleksi dari tingkah polah korup Duryadana,

Penulis Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Bali

BAGIKAN