
Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.
Fenomena mega korupsi yang melibatkan oknum pejabat di negeri ini tampak kian marak beberapa minggu terakhir ini dan bahkan tak putus-putus. Mulai dari skandal pertambangan timah, pemagaran laut, pengoplosan BBM, dan berbagai kasus korupsi lainnya dari pusat sampai dengan daerah, yang menyebabkan kerugian negara dalam jumlah triliunan.
Betapa memprihatinkan negeri ini dipenuhi oleh para koruptor yang lebih mengutamakan keuntungan pribadi atau golongannya sendiri dibandingkan untuk kepentingan negara dan bangsanya. Kapan kemajuan dan kesejahteraan bangsa yang dimaktubkan dalam Undang-undang Dasar 1945 akan dicapai bila kekayaan alam yang ada di dalamnya lebih banyak dikorupsi?
Kasus-kasus korupsi seakan sudah mengakar dan menjadi budaya. Korupsi menjadi sebuah kebiasaan dan menjadi tradisi. Jika menilik definisi budaya dari Koentjaraningrat, budaya adalah keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam kehidupan masyarakat yang didapatkan dari proses belajar.
Tentu yang dimaksudkan budaya dalam hal ini dalah praktek baik yang dijadikan acuan dalam menjalankan hidup yang lebih baik. Korupsi sendiri memang hasil tindakan dan ciptaan manusia dari rasa dan karsanya, yang tidak berlandaskan norma kebaikan dan kebenaran yang berlaku universal untuk kepentingan negara dan rakyat. Namun sebaliknya untuk kepentingan memupuk kekayaan pribadi dan golongannya yang telah dijadikan kebiasaannya, sehingga menjadi “membudaya”.
Masih berkiblat pada sumber yang sama, korupsi sesungguhnya merupakan tindakan individu atau kelompok yang menggunakan jabatan atau kedudukan untuk memperoleh keuntungan dengan cara melanggar hukum dan etika. Merujuk pada definisi ini, jelas bahwa korupsi adalah perbuatan jahat. Kedudukan dan jabatan yang diberikan oleh rakyat mestinya digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk keuntungan sendiri dan kelompok dengan cara mengubah, mengkondisikan, atau melanggar undang-undang.
Namun fakta membuktikan bahwa kasus-kasus mega korupsi tersebut seperti pepatah “hilang satu tumbuh seribu”, artinya sudah mengurat mengakar dalam sendi-sendi kehidupan bangsa sehingga menjadi penyakit kronis yang terus menerus berulang dan sangat sulit diberantas dan merusak semua aspek dan tatanan kehidupan masyarakat.
Korupsi menghancurkan aspek perekonomian, yang mana dana yang bisa digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, hanya dinikmati oleh segelintir oknum dengan kroni-kroninya. Sektor pendidikan juga terkena imbas, karena dana yang mestinya dikucurkan untuk fasilitas dan insrastruktur harus diefisienkan atau dibatasi.
Pemimpin yang diberikan mandat memimpin mestinya dan idealnya adalah orang-orang yang terpercaya dan dipercayai oleh masyarakat. Bukan lantas setelah memegang jabatan, berbuat tidak mulia dengan melanggar hukum.
Pemimpin mestinya mereka yang harus memberikan contoh model kebaikan dan kebenaran serta taat hukum, bukan dari kata-kata atau diskursus semata, tetapi pada aksi nyata. Tampaknya saat ini, negeri ini sedang mengalami krisis kepercayaan kepada para pemimpin yang bisa diteladani dengan aksi-aksi luhur untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya, diakibatkan oleh para oknum koruptor yang rakus seperti tikus busuk yang mengegerogoti terus menerus.
Untuk menghilangkan penyakit kronis korupsi ini memang sangat berat. Solusi terbaik adalah menindak tegas. Tidak ada ampun bagi mereka yang telah menjahati negara. Kalau negara ini mau maju dan berubah, kita perlu belajar dari negeri Cina untuk berani mengimplementasikan hukuman mati bagi para koruptor tersebut. Sudah tidak ada jalan lain, karena hukuman yang ringan, tidak signifikan memberikan efek jera.
Gaji besar pun tidak menjadi jaminan untuk tidak korupsi. Penyakit kronis akan kambuh lagi. Kedua, dengan cara memiskinkan koruptor, semua kekayaan yang didapatkan dari korupsi harus dikembalikan kepada negara. Negara berhak untuk menyita dan merampas semua aset yang dimiliki tanpa menunggu vonis bila sudah jelas terbukti korup. Tindakan sigap penegak hukum ini perlu, supaya aset tidak dipindahkan ke negara lain atau dilakukan ‘money laundry’ atau juga penghilangan barang bukti bahkan oknum tersebut kabur ke negeri lain untuk menghindari hukuman.
Penegak hukum dalam melakukan aksi yudikatif wajib melakukan tugasnya tanpa dipengaruhi oleh pihak lain alias tidak pandang bulu. Mereka adalah para petugas negara yang berlaku adil, transparan, dan berintegritas serta anti korupsi. Yang terakhir, dan yang paling penting adalah transparansi dan pengawasan ketat terhadap anggaran dan pemanfaatannya, termasuk adanya pemanfaatan teknologi untuk pengawasan publik.
Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha