
DENPASAR, BALIPOST.com – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bali tahun 2024 telah berjalan lancar. Bahkan, hasil Pilkada Bali tidak ada sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan demikian, KPU Provinsi Bali mampu menghemat anggaran hingga Rp80 miliar atau kurang dari 50 persen dari total anggaran yang disediakan oleh pemerintah.
Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Gede Lidartawan mengatakan anggaran sisa Pilkada Bali 2024 akan dikembalikan pada 24 Maret 2025 ini. “Kami (KPU Bali,red) tidak ada gugatan (hasil Pilkada Bali 2024,red). Pengembalian anggaran seharusnya bisa selesai 9 April (tahun 2025,red), tetapi kami majukan pengembalian pada 24 Maret supaya semuanya clear,” ujar Lidartawan dalam acara Diseminasi Kajian Publik Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali 2024, di Kantor KPU Bali, Jumat (14/3).
Lidartawan menegaskan bahwa pengembalian anggaran sisa ini sekaligus membantah anggapan perencanaan dan penyelenggaraan Pilkada Bali 2024 kurang optimal karena anggaran yang dipakai tidak maksimal. Justru KPU Bali telah bekerja secara efektif dan efisien. Apalagi, dana Pilkada dirancang jauh sebelum hasil pemilu keluar. Saat itu, KPU Bali belum mengetahui berapa partai yang bisa mengusulkan calon atau jumlah calon independen yang akan maju.
Selain itu, sejumlah pengeluaran juga tidak diperlukan, seperti belanja barang dan sewa kendaraan karena sudah difasilitasi oleh pusat. “Itulah sebabnya penggunaan anggaran kami kurang dari 50 persen sehingga bisa dikembalikan Rp80 miliar,” ungkap Lidartawan.
Lidartawan juga menyoroti keberhasilan sosialisasi KPU dalam meningkatkan partisipasi pemilih. Hampir 30 persen masyarakat mau pergi ke TPS berkat sosialisasi yang dilakukan KPU Bali.
Hasil survei yang dilakukan tim dari Universitas Udayana (Unud) menunjukkan sosialisasi menjadi faktor terbanyak yang mendorong masyarakat untuk datang ke TPS. “Kami ingin ke depan ada standar minimal dan perbaikan dalam penyelenggaraan pemilu. Ini akan menjadi dasar evaluasi kami ke depannya,” tandasnya.
Seperti diketahui, KPU Bali melakukan survei bekerja sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unud dan Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar. Survei yang dilakukan, yakni mengenai perilaku memilih masyarakat dalam Pilkada Bali 2024.
Survei dilaksanakan pada 10 hingga 18 Februari 2025 dengan responden dari sembilan kabupaten/kota di Bali. Usia responden juga bervariasi dari 17 hingga lebih dari 66 tahun serta berasal dari berbagai latar belakang agama, pekerjaan, dan pendidikan.
Hasil survei mengungkapkan alasan utama masyarakat Bali menggunakan hak pilih saat Pilkada 2024 adalah karena mereka mendengar atau melihat berbagai sosialisasi dari KPU dan penyelenggara pemilu lain. Sosialisasi ini berkontribusi sebesar 42,4 persen terhadap partisipasi pemilih.
“Ini menunjukkan bahwa peran sosialisasi dari penyelenggara pemilu, dari tingkat pusat hingga ke akar rumput sangat signifikan dalam meningkatkan partisipasi pemilih,” ujar Direktur Penelitian LPPM Unud, Kadek Dwita Apriani, Jumat (14/3).
Alasan kedua yang mendorong masyarakat mencoblos adalah ketakutan hak pilih mereka akan dimanfaatkan untuk hal yang tidak benar. Hasil survei, alasan ini berkontribusi sebanyak 17,1 persen.
Sementara itu, alasan ketiga masyarakat datang ke TPS untuk mencoblos adalah diingatkan oleh orang-orang di sekitar mereka untuk menggunakan hak pilih. Nilai angka persentasenya sebesar 14,2 persen.
Alasan paling rendah masyarakat memutuskan datang untuk memilih adalah karena menerima hadiah atau pemberian dari kandidat atau tim suksesnya. Hasil survei, persentasenya hanya sebesar 0,5 persen.
Sebaliknya, survei ini juga mencatat alasan utama masyarakat tidak menggunakan hak pilih. Sebanyak 35 persen dari mereka yang tidak memilih menyatakan harus bekerja pada hari pemilihan. Alasan kedua, dengan persentase 20 persen, adalah ketidakpuasan terhadap pilihan kandidat. “Masyarakat merasa bahwa pilihan calon terlalu terbatas dan tidak ada yang sesuai dengan harapan mereka,” jelas Dwita.
Alasan ketiga yang membuat masyarakat enggan memilih adalah karena mereka memilih untuk keluar kota atau pulang kampung pada hari pemilihan. Alasan ini mencapai angka 15 persen. “Responden memanfaatkan jatah hari libur tersebut untuk keluar kota atau pulang kampung daripada memilih ke TPS,” ungkapnya.
Di peringkat paling bawah, ada 5 persen responden yang menyatakan mereka tidak menerima undangan memilih. Hal itu lantas menjadi alasan bagi para responden tersebut untuk tidak menggunakan hak pilih. (Ketut Winata/balipost)