
DENPASAR, BALIPOST.com – Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Bali mengadu dan memohon perlindungan pekerja PT Angkasa Pura Supports (APS) yang diputus hubungan kerja (PHK) secara sepihak karena melakukan mogok kerja, ke DPRD Provinsi Bali, Selasa (18/3).
Mereka diterima langsung oleh Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali, I Nyoman Suwirta, bersama anggota, serta Plt. Sekretaris DPRD Bali, I Gusti Ngurah Wiryanata dan dihadiri Kepala Disnaker dan ESDM Bali.
Ada 6 tuntutan yang disampaikan FSPM Bali pada pertemuan tersebut. Pertama, agar DPRD Bali memanggil Direksi PT Angkasa Pura Supports Pusat atas PHK sepihak karena Made Dodik Satriawan dan 5 orang pekerja lainnya hanya melaksanakan mogok kerja yang merupakan hak dasar bagi pekerja/serikat pekerja dan telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan Peraturan Perundang – undangan yang berlaku.
Kedua, agar Disnaker Propinsi Bali mengevaluasi hasil investigasinya terkait aksi mogok yang dianggap tidak sah, karena tidak mencerminkan keadilan terhadap perlindungan pekerja yang di-PHK. Ketiga, mendesak pengawas ketenagakerjaan untuk memberi sanksi ke perusahaan yang tidak membayarkan upah dan tidak memberikan peraturan perusahaan kepada pekerja, padahal status pekerja masih aktif karena masih dalam proses perselisihan.
Keempat, mendorong pengawas ketenagakerjaan untuk mendesak perusahaan agar mempekerjakan kembali pekerja dan memberikan hak-haknya secara penuh, karena skorsing yang berujung pada PHK bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
Kelima, mendorong pengawas Ketenagakerjaan untuk menindak atas indikasi terjadinya pemberangusan serikat pekerja (union busting) melalui pemanggilan yang dilakukan oleh pihak perusahaan selama atau setelah mogok kerja, serta melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap anggota dan pengurus serikat yang melakukan mogok kerja yang sah.
Dan keenam, meminta pengawas ketenagakerjaan untuk bersikap objektif dan profesional dalam menjalankan fungsinya, agar bisa memenuhi rasa keadilan bagi pekerja yang dirugikan oleh perusahaan.
Merespons tuntutan mereka, I Nyoman Suwirta mengatakan, akan segera berkomunikasi dengan pimpinan induk dari PT APS yang ada di pusat. Ia tidak ingin permasalahan ini berlarut-larut.
Bahkan, pihaknya memastikan permasalahan ini segera menemui titik terang. Berbagai langkah akan dilakukan.
Pertama, secara paralel Disnaker Bali dan Pengawas Ketenagakerjaan akan melakukan pendalaman lebih lanjut. Terutama terkait masa kerja mereka. Karena dari perusahaan yang mem-PHK mengatakan mereka baru bekerja 3 tahun, padahal mereka sudah bekerja puluhan tahun. Hal ini dikarenakan ada aturan dari pemerintah yang tidak boleh memperkerjakan tenaga kontrak atau non ASN, sehingga kemungkinan mereka dihitung dari mulainya aturan tersebut berlaku.
Langkah kedua, akan segera berkoordinasi dengan PT APS pusat agar segera memperkerjakan mereka kembali. Sebab, mereka sudah siap untuk dipekerjakan kembali. Bahkan, jika mereka tidak sempat datang ke Bali, maka rapat koordinasi akan dilakukan melalui zoom meeting. Pihaknya akan datang langsung ke Angkasa Pura I, dan akan melalukan rapat zoom meeting di sana. “Tapi kami berusaha untuk mengajak mereka untuk rapat langsung di Bali,” ujar Suwirta, Selasa (18/3).
Koordinator lapangan (Korlap) yang sekaligus Sekretaris FSPM Regional Bali, Ida Idewa Made Rai Budi Darsana, mengatakan pada 31 Januari 2025 yang lalu FSPM Bali telah melakukan aksi damai di depan Kantor Disnaker dan ESDM Provinsi Bali, akibat kekecewaan mereka atas kinerja dari pengawas ketenagakerjaan. Padahal, pihaknya telah mengingatkan dan menasehati Disnaker dan ESDM Bali agar berhati – hati dalam menyatakan bahwa mogok kerja yang tidak sah karena konsekuensi sangsinya sangat berat.
Selain itu, diungkapkan Disnaker Bali juga mengatakan bahwa permasalahan yang terjadi merupakan bentuk perselisihan hubungan industrial, padahal faktanya 6 orang pekerja ini sebelumnya diberikan skorsing akibat melakukan mogok kerja. Skorsing atau hukuman yang diberikan bukan merupakan perselisihan tetapi patut diduga sebagai sebuah pelanggaran terhadap Undang – Undang Ketenagakerjaan, Pasal 143 jo. Pasal 185, Pasal 144 jo. Pasal 187 yang merupakan tindak Pidana Ketenagakerjaan.
Begitu pula halnya dengan durasi waktu yang dikatakan bahwa pemberitahuan mogok kerja tidak sesuai, padahal jelas – jelas telah diatur dalam Pasal 3 huruf c Kepmenaker No:
Кер.232/Men/2003 tentang akibat hukum mogok kerja yang tidak sah, para pekerja/serikat pekerja diwajibkan melakukan pemberitahuan terkait mogok kerja paling lama 7 hari sebelum dilaksanakannya mogok kerja. Hal tersebut sudah dilakukan oleh pekerja.
“Atas hal tersebut, kami Federasi Serikat Pekerja Mandiri Regional Bali bersama YLBHI – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali menyampalkan rasa kecewa dan protes keras kami agar Pengawas ketenagakerjaan Provinsi Bali bisa bekerja lebih obyektif dan profesional serta mampu memberikan keadilan bagi segenap pekerja di Bali,” ungkapnya.
Kejadian ini sempat diadukan ke DPRD Kabupaten Badung, namun ia mengatakan bahwa tidak ada respon dari DPRD Badung. Sehingga, mereka mengadu ke DPRD Bali. Sebelumnya, mereka juga sudah mengadukan permasalahan ini ke Ombudsman Bali, Anggota DPD RI Dapil Bali, dan ke Polda Bali.
Menanggapi kekecewaan mereka, Kadisnaker dan ESDM Bali, Ida Bagus Setiawan membantah tidak bekerja dengan maksimal. Hanya saja saat melakukan pengawasan dan evaluasi, Disnaker Bali tidak mendapatkan data yang lengkap. Bahkan, pada saat mereka melakukan tuntutan ke Kantor Disnaker dan ESDM Bali data yang diberikan tidak lengkap. Begitu juga data-data yang dikumpulkan dari Disnaker Kabupaten Badung kurang lengkap.
Kedua, kaitannya dengan masalah substansi. Dikatakan, bukan ada pada aksi mogok kerjanya, tetapi proses mediasi ditingkat kabupaten tidak terjadi kata sepakat. Apalagi, ada perubahan dimanajemen, karena ada regulasi dari pusat terkait konsorsium. Hal ini yang berimbas kepada masa kerja mereka. (Ketut Winata/balipost)