
GIANYAR, BALIPOST.com – Bhuta Jangitan siap nyatur bhuwana di Desa Adat Tegallalang. Ogoh-Ogoh ST Parama Chanti dari Banjar Gagah, Desa Tegallalang , Gianyar dikerjakan sejak sebulan terakhir secara gotong royong. Ogoh-ogoh ini akan meramaikan pawai ogoh-ogoh Desa Adat Tegallalang yang akan digelar Kamis (27/3) mendatang.
Ketua ST Parama Chanti Putu Andrian Trinatha, Jumat (21/3) mengatakan sesuai kesepakatan parum desa adat dan sekeha teruna, ogoh-ogoh dari tujuh ST di Desa Adat Tegallalang akan start dari kuburan di Banjar Penusuan. ‘’Semua ogoh-ogoh diharapkan sudah berada di lokasi pukul 17.00 WITA. Selanjutnya pergerakan akan dimulai menuju catus pata Desa Adat Tegallalang,’’ jelasnya. Diperkirakan belasan ogoh-ogoh akan diark saat itu.
Ia mengatakan tema Bhuta Jangitan diilhami dari ritual caru yang mengabaikan unsur kelengkapan yadnya. Menurutnya ogoh-ogoh dengan bahan anyaman bambu dan hiasan ukiran kertas ini terinspirasi dari kegiatan ritual umat Hindu.
Secara filosopi, kata dia, sebagai masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu selalu mengadadakan upacara Bhuta Yadnya yang disebut dengan caru, salah satu yang wajib ada adalah ayam caru.
Pada arah mata angin timur, wajib disembahkan ayam putih. Jika dikaitkan dengan Bhuta Jangitan yang berstana pada arah timur, wajib hukumnya untuk menghaturkan ayam putih. Di saat serati banten atau yang menggelar yadnya kurang memperhatikan banten, sehingga dia lupa untuk menghaturkan ayam putih, Sang Bhuta Jangitan menjadi marah dan mengamuk.
Dari kisah Bhuta Jangitan ini, didapatkan suatu makna agar kita berhati-hati dalam melaksanakan upacara, baik itu bhuta yadnya, maupun dewa yadnya dan lainnya.Kembali kita kupas, bhuta artinya ruang dan kala artinya waktu. Ruang dan waktu harus seimbang dijalankan, sehingga kesejahteraan manusia bisa tercapai dan alam semesta menjadi aman dan tentram. (kmb/balipost)