
Oleh I K. Satria
Nyepi sebagai peringatan tahun baru Çaka merupakan hari perayaan yang berjalan panjang hingga sampai ke Bali. Awalnya hari ini hanya sebagai hari yang digunakan sebagai peringatan tahun baru Çaka, sekadar sebagai perayaan yang mengingatkan bahwa masyarakat Hindu adalah masyarakat agraris.
Pada saat itulah masyarakat kita memaknai pentingnya jyotisa atau ilmu perbintangan dalam menentukan hari baik untuk melakukan
pemuliaan tanah sebagai mandala hidup manusia. Perayaan Nyepi berjalan dari India, lalu berkembang di Jawa dan kemudian di Bali.
Perjalanan panjang ini, menjadikan makna perayaan tahun baru Çaka berbeda-beda. Di India perayaan tahun baru Çaka pada awalnya dilakukan dengan kesadaran akan hasil alam yang melimpah berkat digunakannya penanggalan Çaka, lalu berkembang pada jamannya ke daerah nusantara yaitu di pulau jawa dengan perayaan yang sama dilakukan di alun-alun desa oleh masyarakat pendukungnya pada masa itu.
Hal ini memang sangat masuk akal, di atas hasil bumi Pulau Jawa saat itu melimpah akibat adanya jyotisa atau prembon tentang hari baik yang dikembangkan oleh leluhur mereka yang terilhami
oleh ajaran Sang Aji Saka.
Berkembang sampai di Bali menjadi perayaan dengan semangat persembahan. Yaitu yang awalnya hanya sekedar perayaan kesyukuran atas hasil alam, di Bali berubah menjadi perayaan Bhuta Yadnya terbesar sepanjang satu tahun Çaka. Perubahan ini merupakan perubahan yang sangat unik, tentang bagaimana masyarakat Hindu Bali memandang dasar dari sebuah ritual.
Leluhur Bali memandang bahwa pergantian tahun baru Çaka bukan hanya dilakukan perayaan tahun baru tetapi perayaan pemuliaan kepada alam melalui persembahan. Cara pandang inilah yang membuat Bali seperti sekarang yaitu pulau dengan sebutan yang fantastis oleh masyarakat luar Bali.
Pada tahun 2025 ini, Nyepi menjadi unik karena bersamaan dengan pelaksanaan Hari Suci Tumpek Wariga. Hari dimana pada saat ini kita melakukan pemujaan kepada Dewa Sangkara, sebagai dewanya sarwaning tumuwuh atau segala tumbuh-tumbuhan. Sunya dan kemurnian dalam nyepi, ditambah dengan pemuliaan akan tumbuh-tumbuhan berlangsung dalam sehari, ini artinya keharmonisan itu sangat diwujudnyatakan oleh hari suci.
Hal ini mesti diikuti oleh pola laku kita sebagai umat agar melakukan dan juga mewujudnyatakan hari suci ini ke dalam aksi nyata, ujungnya adalah untuk keharmonisan itu setidaknya terencana, terlakukan dan hasilnya bisa kita nikmati.
Prosesi nyepi yang berlangsung, puncaknya di pananggal apisan sasih kadasa, diawali dengan prosesi malasti. Kata malasti memiliki arti prosesi bersuci, mensucikan dalam hal ini adalah pensucian alam semesta. Perlukah alam ini disucikan? Menurut pandangan Hindu
sangatlah diperlukan karena alam bagi manusia bali dipersonifikasikan sehingga dianggap perlu dilakukan penyucian oleh penyangga alam semesta ini, yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Selanjutnya setelah prosesi malasti, dilakukan ritual Tawur Agung Kasanga, yaitu ritual Bhuta Yadnya yang merupakan persembahan kepada alam dengan pengharapan perubahan untuk keseimbangan, perubahan kekuatan Bhuta menjadi kekuatan Dewa.
Catur Brata panyepian adalah prosesi yang paling menarik dalam perayaan tahun baru Çaka ini. Dimana empat pantangan yang dilakukan oleh umat Hindu. Pertama adalah amati geni. Artinya adalah berpantang untuk menyalakan api. Api yang dimaksud
adalah api untuk memasak, selain itu pula tidak menyalakan api dalam tubuh, yaitubberpantang makanan, sebab makananlah yang
menciptakan api di dalam tubuh.
Begitupula dengan mengurangi emosi serta ego di dalam diri sebagai bukti berpengendalian di hari suci. Selanjutnya adalah amati karya, berpantang untuk bekerja. Bekerja yang dimaksud adalah mengurangi aktivitas fisik dan juga aktifitas yang berkaitan dengan alam dan lingkungan.
Pada dasarnya semua aktivitas itu adalah nasihat kepada untuk kembali pada jati diri, kembali menuju suci dan mengetahui hakikat
diri, ketika hal ini terjumpai maka keharmonisan akan bisa kita gapai.
Pada pemahaman inilah nyepi menjadi sangat berarti menelisik diri di hari suci, mungkin adalah pesan lainnya tentang perayaan nyepi ini.
Di sini kita diharapkan benar-benar untuk introspeksi diri, peduli dengan alam dan lingkungan, terlebih dengan adanya penyatuan acara Nyepi dengan Tumpek Wariga. Hal ini sangat masuk akal, karena Hindu mengajarkan adanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam, sehingga disebut hubungan yang saling berkaitan dan
saling mendukung antara badan (microkosmos) dan alam (makrokosmos). Hubungan inilah semestinya mengingatkan kita tentang bagaimana mestinya saling menjaga, artinya menjaga alam
bagaikan menjaga badan kita sendiri.
Bagaimana upaya kita mengurangi sampah plastik, bagaimana melestarikan lingkungan, bagaimana menjaga diri dengan sesama agar baik dan itulah sesungguhnya pondasi yang baik dalam rangka menjalin hubungan dengan Sang Pencipta.
Penulis, Penyuluh Agama Kementerian Agama Kabupaten Buleleng, Ketua PHDI Desa Pedawa Baliaga