TABANAN, BALIPOST.com – Sehari sebelum Hari Raya Nyepi, umat Hindu di Bali melaksanakan tradisi melasti, sebuah ritual sakral untuk menyucikan diri dan sarana persembahyangan.
Salah satu desa adat yang masih menjalankan tradisi ini adalah Desa Adat Kutuh Kelod, Desa Samsam, Kecamatan Kerambitan.
Tahun ini, mereka kembali menggelar prosesi melasti ke Pantai Yeh Gangga, sebuah lokasi yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual untuk menetralisir segala kekotoran lahir dan batin.
Dipimpin langsung Bendesa Adat Kutuh Kelod, Made Sudarsana, ratusan krama adat berbondong-bondong menuju pantai dengan membawa berbagai perlengkapan upacara.
Rangkaian ritual dimulai dengan iring-iringan panjang warga yang mengenakan pakaian adat serba putih.
Mereka membawa pratima, arca, dan sesajen yang dihaturkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Tabuh gamelan mengiringi perjalanan, menambah kekhidmatan prosesi yang berlangsung sejak pagi.
Menurut Made Sudarsana, malasti bukan sekadar upacara seremonial, tetapi juga memiliki makna mendalam bagi umat Hindu di Bali.
Setibanya di Pantai Yeh Gangga, prosesi dilanjutkan dengan persembahyangan bersama yang dipimpin oleh pemangku desa.
Air suci yang telah didoakan dipercikkan kepada seluruh peserta sebagai simbol penyucian.
Dalam suasana penuh khidmat, umat Hindu melafalkan doa-doa, memohon berkah agar diberikan ketenangan dan kesejahteraan.
Melasti juga menjadi momentum penting dalam melestarikan budaya Bali. Generasi muda dilibatkan secara aktif, baik dalam persiapan maupun pelaksanaan ritual, agar mereka memahami dan terus melanjutkan warisan leluhur.
Pihaknya ingin anak-anak muda mengenal dan mencintai adat istiadatnya. Dengan ikut serta dalam melasti, mereka belajar bahwa tradisi ini bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga bagian dari identitas spiritual umat Hindu.
Sebagai bagian dari rangkaian Nyepi, melasti menegaskan nilai-nilai kesucian dan harmoni dengan alam.
Setelah upacara ini, keesokan harinya umat Hindu bersiap menyambut Catur Brata Penyepian, yakni amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelanguan (tidak bersenang-senang), dan amati lelungan (tidak bepergian).
Tentunya diawali dengan upacara pengerupukan yang identik dengan mengarak ogoh ogoh. Dengan demikian, Nyepi bukan hanya perayaan tahunan, tetapi juga momen refleksi diri dan penyucian batin menuju kehidupan yang lebih baik. (Puspawati/balipost)